REPUBLIKA.CO.ID, Perempuan paruh baya itu memasuki Gedung Serba Guna 2 (SG 2) Asrama Haji Pondok Gede dengan tatapan sendu. Sesekali ia menunduk menatap kosong dua tas pasport warna oranye yang tergantung di lehernya, sambil tangan kanan dan kiri nya membawa dua tas jinjing warna serupa memasuki ruangan penerimaan jemaah haji. Satu pasang tas pasport dan jinjing oranye itu miliknya. Satu pasang lagi, milik suaminya.
Neneng Hasanah (52 tahun), tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa ia akan kembali ke ruangan ini hanya bersama sepasang tas milik suaminya. Masih lekat di benaknya, ketika pertama kali memasuki ruangan ini berdua dengan sang suami, Ahmad Dumyati (52) menjelang keberangkatan mereka ke Tanah Suci akhir Juli 2017 lalu.
Sepasang suami istri ini amat bersyukur memiliki kesempatan menjadi tamu Allah pada musim haji 1438 H ini. Mereka tergabung dalam kelompok terbang JKG 04, dari Embarkasi Jakarta Pondok Gede.
Beribadah ke Tanah Suci bersama pasangan, tentunya menjadi harapan banyak orang. Begitu pula Neneng Hasanah dan Ahmad Dumyati. Perjalanan suci itu dimulai dari ruangan ini, saat mereka memperoleh pemeriksaan kesehatan hingga menggunakan gelang penanda jemaah haji Indonesia. Semua proses pemberangkatan dilakukan bersama, berdua.
Namun, kini Neneng ada di ruangan itu untuk melakukan proses pemulangan tanpa sang suami, sendiri. Hanya kenangan tentang suami tercinta yang menemani. Tas paspor milik sang suami tampak terus didekapannya, jadi penanda keberaamaan yang terakhir kali dengan pria yang ia cintai.
“Bapak Ahmad Dumyati wafat di Tanah Suci karena stroke ringan,” jelas Muhamad Amir Khoiri, Ketua Rombongan Bus 9 kloter JKG 04 kepada Humas PPIH Jakarta Pondok Gede, Sabtu (09/09).
Menurut Khoiri, almarhum sebelumnya memang memiliki riwayat sakit. Namun, ketika berangkat dalam keadaan sehat dan layak diberangkatkan.
“Sakitnya gula, tapi pas mau berangkat gak ada keluhan apa-apa,” kata Neneng lirih.