IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Direktur Pengelolaan Dana Haji dan Sistem Informasi Haji Terpadu Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Ramadhan Harisman, menegaskan, bahwa dana haji perlu dimanfaatkan melalui investasi perbankan. Pasalnya, melalui dana investasi tersebut, pemerintah dapat menutupi kekurangan pembiayaan ibadah haji setiap jamaah.
"Adapun bentuk investasinya bisa berupa produk perbankan dan surat berharga syariah negara. Kedua produk ini dinilai memiliki risiko pengelolaan yang sangat rendah, namun memiliki manfaat yang sangat tinggi," katanya, ketika memberikan keterangan tambahan mewakili Pemerintah dalam sidang uji materi ketentuan Pasal 24 huruf a, Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2) UU Pengelolaan Keuangan Haji, di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa (26/9).
Ramadhan memaparkan, sampai dengan Juni 2017, daftar tunggu jamaah haji sudah mencapai 3.500.000. Sedangkan dana yang terkumpul sudah hampir Rp 100 triliun. "Jadi kalau dana tersebut tidak diinvestasikan akan sayang sekali, potensinya besar, tetapi tidak diinvestasikan," kata Ramadhan.
Dalam perhitungan riil, Ramadhan memaparkan, apabila seorang jamaah haji pada 2017 membayar sebesar Rp 34 juta, sedangkan dana yang dibutuhkan mencapai Rp 61,5 juta rupiah per jamaah.
Sementara itu, permohonan uji materi ini diajukan oleh seorang warga negara Indonesia bernama Muhammad Sholeh yang mendaftar sebagai calon jamaah haji pada Kantor Kementerian Agama Sidoarjo Jawa Timur. Sholeh pernah menyetorkan dana sebesar Rp 20 juta pada 13 Februari 2008 lalu. Namun, dia tidak pernah dijelaskan jika uang yang disetorkan tersebut akan diinvestasikan.
Menurut Sholeh selaku pemohon, hal ini merugikan hak konstitusionalnya apabila uangnya dipakai untuk investasi tanpa persetujuannya. Untuk itulah, pemohon meminta agar majelis hakim Mahkamah Konstitusi membatalkan berlakunya ketiga pasal yang diujikan tersebut.