Kamis 21 Dec 2017 11:28 WIB

Mourabitoun dan Mourabitat: Kisah Lelaki dan Wanita Penjaga al-Aqsha

Polisi Israel memeriksa warga Palestina di pintu masuk  Kota Tua Yerusalem, Jumat (21/7)
Foto: Amir Cohen/Reuters
Polisi Israel memeriksa warga Palestina di pintu masuk Kota Tua Yerusalem, Jumat (21/7)

Di bawah langit yang pucat, para peziarah bergerombol  melalui ‘Gerbang  Singa’. Saat itu para pezirah baru saja  menunaikan shalat Jum'at di kompleks Masjid Al-Aqsa.

Dari kejauhan, Zeina Amro hanya bisa menyaksikan kepergian para peziarah itu. Dahulu, dia adalah guru dan sekaligus pemandu bagi para peziarah yang mengunjungi kompleks Masjid al-Aqsa itu. Namun sekarang pekerjaan itu tak bisa lagi dilakukannya. Ada ketentuah hukum dari pihak Israel yang melarangnya melangkah ke tempat situs tersuci ketiga Islam tersebut.

Selama berbulan-bulan, Amro dan puluhan pria dan wanita Palestina lainnya telah dilarang mengunjungi masjid tersebut. Pihak Israel melarang mereka sebagai upaya untuk mengeliminasi aktivitas para anggota kelompok pembela Al-Aqsa  yang disebut Mourabitoun (pembela Al-Aqsa yang laki-laki dan Mourabitat (pembela al-Aqsa yang perempuan). Kelompok inilah yang selama ini berani secara terbuka berdebat dengan para pemukim Yahudi yang menjaga kompleks tersebut. Israel selama ini memang terus berupapa  ingin memisahkan lokasi tersebut dan mengurangi karakter Islamnya.

Tahun lalu, Israel melarang kelompok Mourabitoun ini dengan menuduh mereka melakukan serangkaian kekerasan di Yerusalem yang efekenya juga berimbas menggemakan perlawanan hingga sepanjang wilayah Tepi Barat yang didudukinya.

"Saya telah ditangkap dari rumah saya, dari gerbang kompleks al-Aqsa itu. Saya pun sudah dipukuli dan diinterogasi. Namun pelarangan menjadi pemandu para peziarah  itu hukuman terburuk," Amro, yang mengenakan jilbab pink pucat dan mantel kancing hitam, kepada Al Jazeera.

"Tempat ini adalah bagian dari diri saya. Jadi siapa saya ini? Saya ini adalah hanya membantu para peziarah agar bisa lebih dekat dengan Tuhan. Tapi pelarangan menjadi pemandu adalah hukuman paling keras,” ujarnya lagi.

Sebelum larangan tersebut, Amro yang telah berusaia 50 tahun, menghabiskan hari-harinya untuk berdoa, mengajar, dan belajar di dalam al-Aqsa. Senyawa profesi itu selalu menjadi bagian dari hidupnya. Sejak lahir Amro tumbuh di antara batu-batu kuno dan mosaik khasnya. Sama dengan masa kecilnya, keeempat anaknya dan dua putrinya sekarang juga sudah dia kirimkan untuk bersekolah di dalam kompleks Al Aqsa itu. Suami Amro mempelajari situs ini secara profesional, dan dia biasa mengatur tur untuk mencerahkan pengunjung tentang sejarah tempat itu.

Amro percaya bahwa setiap Muslim yang mengunjungi al-Aqsa adalah bagian dari Mourabitoun atau Mourabitat. Dan kelompok inilah  — yang terdiri dari ratusan pria dan wanita— terus berjuang dengan sangat gigih untuk mempertahankan kehadirannya  di kompleks tersebut. Akivitas kelompok ini telah mereka lakukan selama lima tahun. Pada awalnya, Amro mengatakan, mereka menerima sejumlah kecil dana dari sebuah LSM yang terkait dengan cabang Gerakan Islam di ‘kawasan utara’ yang dilarang. Namun sekarang mereka bekerja secara sukarela.

 "Ribuan orang yang baru saja meninggalkan mesjid adalah Mourabitoun, karena mereka terhubung dengan agama dan mengikutinya," kata Amro sambil menunjuk ke arah arus jamaah yang keluar melalui ‘Gerbang Singa’. "Tapi pasukan pendudukan menggunakan istilah ini untuk mencoba membuat ini tampak negatif, bermasalah, di luar hukum. Kami  jelas menolaknya!”

Amro malah menyalahkan serangan baru-baru ini dalam kekerasan di Yerusalem dan Tepi Barat terhadap pemukim Yahudi. Ini terjadi karena para pemukim ilegal asing itu telah semakin berusaha memasuki kompleks Al-Aqsha dengan pengawalan pasukan bersenjata.

Banyak Muslim khawatir adanya usaha aktif dari Israel untuk mengubah status al-Aqsha yang ‘status quo’ yang oleh orang Yahudi disebut sebagai Temple Mount. Mereka memang memandang sebagai salah satu situs tersuci dalam Yudaisme, dan beberapa orang Yahudi secara terbuka menyatakan keinginan untuk membangun Bait Suci Ketiga dengan berbagai alasan. Para peziarah non-Muslim memang telah secara formal dibatasi berada di kompleks Masjid Al Aqsha ini selama berabad-abad. Hanya pada jam tertentu, yakni di pagi dan sore mereka bisa mengunjunginya.

“Terus merangseknya para pemukim Yahudi ke Al-Aqsa jelas tindakan yang sangat menghasut. Inilah yang menyebabkan masalah," kata Amro. "Jika Anda masuk maka pasukan keamanan akan mengawasinya. Saat itu mereka akan datang untuk berperang, maka yang kita lakukan hanyalah memanggil 'Allahu akbar!”

Selama ini, Polisi Israel menyatakan hanya menjadi pendamping ‘para pembela Al Aqsha ini. Mereka beralasan untuk mengurasngi ancaman kepada para pengunjung dan turis Yahudi oleh anggota "Mourotitoun dan Mourabita’ ini. Apalagi Israel menganggap kelompok inilah  yang selalu ‘provokatif ‘ dan ‘melecehkan’ bahkan terkadang menyerang pengunjung.

Orly Benny Davis, seorang aktivis dan anggota gerakan Temple Mount, yang menganjurkan doa Yahudi di kompleks tersebut, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa semua kelompok agama harus belajar "berbagi ruang". Namun dalam beberapa bulan terakhir, kelompok Zionis sayap kanan sayap kanan telah menyerukan pengambilalihan al-Aqsha secara langsung.  Bukan hanya itu mereka menawarkan kompensasi finansial kepada orang-orang Yahudi dengan menyerukan kepada peziarahnya saat berdoa di kompleks itu agar Tuhan menghancurkan Masjid al-Qibli serta memberikan jalan pembangunan bagi ‘Kuil Ketiga’ Yahudi di situ. Wakil Menteri Luar Negeri Israel Tzipi Hotovely menyebut majelis tersebut sebagai "pusat kedaulatan Israel".

 “Adanya perkembangan tersebut telah memperkuat ketakutan akan al-Aqsa yang terbagi,”  kata Umm Abdullah, seorang anggota Mourabitat yang berbicara dengan Al Jazeera dari bawah mosaik brilian ubin merah, emas dan hijau di dalam Dome of the Rock (kubah batu). Dan ada preseden untuk model seperti itu: Setelah pembantaian Masjid Ibrahimi pada tahun 1994, Israel kemudian membagi kompleks masjid Al Aqsha menjadi wilayah Muslim dan Yahudi. Namun curangnya,  pihak Muslim oleh Israel hanya mendapat wilayah dengan kurang dari separuh ruang suci. Maka banyak yang khawatir bahwa ‘pencaplokan’ ini juga merupakan rencana akhir untuk al-Aqsa.

"Mereka ingin membagi al-Aqsa di antara kita dan mereka Mereka ingin mengambilnya, tapi al-Aqsa adalah untuk kita, ini tempat kita," kata Umm Abdullah, berbicara dengan nama samaran karena takut akan dampak hukum. Dia memang bersama puluhan anggota Mourabitat lainnya dilarang masuk kompleks Al Aqsha itu .Meski begitu, dia mengatakan tetap akan melanjutkan pertemuan rutinnya di dalam Dome of the Rock (Kubah Batu), sembari berdoa dan membaca Alquran bersama para wanita-wanita lain di sana.

sumber : al jazeera.com
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement