IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah bersama Komisi VIII DPR RI menetapkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2018 sebesar Rp 35,23 juta per jemaah. Angka itu tercatat naik sekitar Rp 345 ribu dibanding penyelenggaraan haji tahun lalu, yaitu Rp 34,89 juta. Biaya haji riil jamaah Indonesia tahun ini sebesar Rp 66 juta.
Sayangnya, karena dibantu dana optimalisasi haji, biaya jamaah haji tahun ini hanya Rp 35,235.602 per jamaah. Maka, dengan demikian, subsidi dari dana optimalisasi itu rata-rata Rp 31 juta per jamaah. Sayangnya banyak masyarakat, bahkan Calon Jamaah Haji (Calhaj) sendiri masih belum mengetahui apa itu dana optimalisasi.
Ketua Panitia Kerja Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (Panja BPIH) Noor Achmad menjelaskan dana optimalisasi itu istilah gampangnya adalah dana margin atau keuntungan. Memang dalam istilah konvensionalnya bunga tapi akadnya secara Islam sehingga tidak ada istilah bunga. "Dari penempatan dana setoran haji para jamaah yang waiting list yang numpuk itu yang sekarang mencapai 103 triliun," ungkap Noor Achmad, saat dihubungi melalui pesan singkat, Sabtu (17/3).
Namun Noor Achmad mengaku tidak mengetahui dana itu di mana saja dan dalam bentuk apa kerjasamanya. Karena mata yang mengelola adalah Kementrian Agama (Kemenag), dan akan diserahkan atau berpindah ke Badan Pengelola Keuangan Haji adalah lembaga yang melakukan pengelolaan Keuangan Haji (BPKH). Perpindahan pengelolaan itu berdasar Undang-undang 34 tahun 2014.
"Seharusnya pengelolaan itu lngsung dilakukan oleh BPKH tapi waktu itu menunggu PP dan Keppres serta menunggu selesainya audit dari BPK. Pada saat pembahasan BPIH, infonya audit BPK belum selesai," terangnya.
Noor Achmad berharap dana optimalisasi bakal lebih banyak lagi. Mengingat sebelumnya, yang dilakukan oleh Kemenag dengan cara-cara yang nampaknya hanya penempatan di beberapa Bank dan sudah bisa memperoleh dana optimalisasi 6 triliun. Kemudian dana tersebut digunakan untuk menutup hampir separuh dari dana BPIH. Noor Achmad meminta BPKH harus lebih professional profitable dan tetap syari bisa memperoleh lebih banyak dari itu.
"Tidak ada artinya ada BPKH kalau yang dilakukan sama dengan Kemenag," ungkapnya.
Disamping itu pihaknya juga minta supaya penggunaan dana optimalisasi masuk lebih dulu ke "virtual account" tabungan para jamaah yang waiting list tersebut. Sehingga jelas yang diperoleh oleh para jamaah, tentu BPKH akan memperoleh upah atau ujrah dari usaha pengelolaannya. Akan tetapi harus jelas akadnya, karena jamaah menyetor kepada pemerintah (Kemenag). Maka pemerintahlah yang menjadi wakil dari para jamaah untuk mengelola dana yang disetorkan.
"Artinya nanti dalam pemahaman syari pemerintah mewakilkan pengelolaan itu kepada BPKH," terang Politikus Partai Golkar.
Maka dengan demikian, Noor Achmad berpendapat masyarakat harus tahu persis berapa margin atau keuntungan yang diperoleh dari uang setorannya selama 20 sampai dengan 38 tahun. Bahkan bila perlu, kata Noor Achmad, masyarakat juga harus diberi tahu, kenapa BPIH yang riilnya Rp 62 juta tapi sekarang bayarnya hanya Rp 35 juta. Artinya yang Rp 27 jutanya adalah dana optimalisasi.
"Untuk masalah ini nanti saya punya gagasan lain atas dasar bahwa dana haji itu harus clear dengan jamaah, harus terbuka," ucap Anggota Komisi VIII DPR RI itu.
Dana dari optimalisasi, masih kata Noor Achmad, seharusnya juga tidak bisa digunakan yang lain-lainya, bila perlu ada fatwa dari MUI. Misalnya, berapa besaran ujrah yang wajar bagi pengelola, berapa jumlah pengelola disamping ada manager dan pengawas, berapa staf yang dibutuhkan dan untuk apa?.
"Apakah dana itu sebagian bisa digunakan untuk kemaslahatan umat atau tetap harus kembali kepada jamaah haji," tutupnya.