Jumat 20 Jul 2018 09:07 WIB

Yang Terkenang dari Haji Zaman Dulu

.

Rep: erdy nasrul/ Red: Ani Nursalikah
Jamaah haji Indonesia menyerbu toko bahan makanan usai shalat subuh di kawasan Syisyah, Sektor 5, Makkah, Arab Saudi, Senin (28/8).
Foto: Republika/Ani Nursalikah
Jamaah haji Indonesia menyerbu toko bahan makanan usai shalat subuh di kawasan Syisyah, Sektor 5, Makkah, Arab Saudi, Senin (28/8).

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa pekan lalu, ayah saya menceritakan perjalanan haji yang dilakukannya di era 1990-an. Ketika itu dia dan almarhum ibu berangkat ke Tanah Suci dari hasil menjual sebidang tanah di bilangan Utan Jati, Kalideres, Jakarta Barat.

Yang terbesit di hati mereke ketika itu, daripada membeli mobil, lebih baik uang dimanfaatkan untuk ibadah. “Insya Allah berkah,” katanya yang kini sudah berusia 77 tahun.

Ketika itu mereka berangkat melalui embarkasi Jakarta. Ketika sampai di Bandara King Abdul Aziz Jeddah, mereka harus melewati pemeriksaan imigrasi yang lama. “Berjam-jam,” kenangnya.

Perjalanan berlanjut ke penginapan untuk rehat sejenak. Setelah itu mereka melaksanakan umrah.

Ketika itu tidak ada katering. Jamaah dituntut kreatif mencari makan sendiri. Pada awal kedatangan  di Tanah Suci, banyak jamaah yang makan di restoran.

Bayangkan, di negeri orang yang biaya hidupnya lebih tinggi, mereka makan di restoran dua sampai tiga kali sehari.

Luar biasa. Sementara orang tua saya melakukan hal berbeda. Mereka membeli kompor untuk masak sendiri.

“Pak haji kayak kemah aja masak sendiri,” kata teman orang tua saya di satu kelompok terbang.

Ayah saya hanya tersenyum. Tidak berkata apa-apa.

Pada pekan ketiga dan seterusnya, dompet mereka menipis. Perbekalan semakin berkurang.

Sementara orang tua saya masih asyik memasak makanan sendiri. Mereka yang mulai kehabisan perbekalan melirik masakan ayah saya.

“Enak juga nih masakan Pak Haji,” seloroh mereka.

“Makanlah,” kata ayah saya mempersilakan mereka mencicipi kreasinya. Ayah saya bercerita, ketika itu memasak daging unta, semacam sup.

Kuah kaldu yang segar dan gurih menyegarkan badan. Daging hewan itu terasa begitu empuk. “Rasanya enak,” ujarnya.

photo
Petugas menyiapkan contoh menu makanan yang akan disajikan kepada jamaah calon haji.

Saya ingat, mereka juga membawa bekal makanan kering. Mereka membuat sambal yang dikeringkan, rendang, dan abon. Semua itu mereka manfaatkan untuk bekal makan selama sekitar sebulan di al-Haram.

Kondisi seperti itu jauh berbeda dengan penyelenggaraan haji tahun ini. Jamaah sekarang tak lagi dipusingkan dengan masak sendiri.

Mereka tinggal duduk manis di bus ketika datang di al-Haram. Kemudian petugas datang membawakan makanan yang dibuat katering.

Buka penutup, kemudian santap makanan di dalamnya. Hidangan yang disajikan pun khas Nusantara, bukan masakan Arab yang identik dengan daging beraroma tajam. Ada tumis sayuran, lauk-pauk sederhana, sambal, buah, dan minuman.

Luar biasa, di negeri gurun pasir, yang tak memiliki bumbu bervariasi, lidah jamaah digoyang masakan kampung halaman yang dikenal kaya bumbu.

Ada menu ikan patin dengan berbagai bumbu, mulai digoreng, sambal goreng, dan asam manis. Tempe dan tahu yang menjadi lauk-pauk khas Indonesia juga disediakan.

Pelayanan ini sengaja diberikan agar mereka terasa tinggal di negeri sendiri. Suasana ini membuat mereka lebih nyaman tinggal di negeri orang, asyik melaksanakan berbagai ritual haji yang menguras tenaga.

photo
Sejumlah petugas dari salah satu perusahaan katering yang memasok makanan bagi jamaah haji Indonesia di Arafah, mengemas makanan di dapur umum pada perkemahan maktab. (Republika/Amin Madani)

Meski sudah disediakan makan, tak perlu lagi memasak, ada saja yang mengeluhkan rasa kurang gurih, kurang asin, kurang pedas dan lainnya.

Jumlahnya tidak banyak. Tahun ini, jamaah haji mendapatkan 40 kali makan. Jumlah itu bertambah 15 kali lebih banyak dibandingkan jatah makan jamaah haji tahun sebelumnya. Pada 2015, jamaah hanya mendapatkan 15 kali jatah makan, tahun berikutnya bertambah menjadi 25 kali.

Yang lebih menarik adalah mereka bisa setiap hari meneguk air zamzam, air yang terkait erat dengan perjuangan Hajar dan anaknya Ismail bertahan hidup. Mereka adalah keluarga bapak para nabi, Ibrahim, yang dikenal sebagai pembangun al-Haram.

Umat Islam di belahan dunia mana pun pasti berharap dapat meminum air ini setiap hari. Jamaah haji merasakan betapa nikmatnya menenggak zamzam setiap saat selama tinggal di al-Haram, tempat hidup para nabi. Selesai melaksanakan haji, mereka boleh membawa air itu secara terbatas. Subhanallah.

Ada baiknya jamaah haji mengingat firman Allah yang sering diulang dalam surah ar-Rahman, “Nikmat apalagi yang kalian dustakan.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement