IHRAM.CO.ID, Oleh Fitrian Zamzami, wartawan Republika
Panas matahari Madinah sudah mulai menyengat, menjelang siang, Sabtu (21/7) itu. Suhu tercatat sudah mencapai 35 derajat celcius. Bagaimanapun, ia bukan halangan bagi Jabir (45 tahun) seorang mukimin Madinah asal Madura.
Satu persatu, ia pasang stiker ke bus-bus di parkiran dekat paviliun Bandara Amir Muhammad bin Abdulaziz. Masing-masing stiker punya nomor sendiri-sendiri. Ia jadi petunjuk penting soal harus kemana jamaah nantinya.
Jabir yang sudah menahun tinggal di Madinah ini harus bekerja lekas. Begitu bus tiba, biasanya dalam waktu mendekati keluarnya jamaah dari gerbang kedatangan, striker harus terpasang semuanya agar tak ada yang salah masuk dan keliru sampai pemondokan. “Panasnya agak lebih ini hari,” kata dia saat ditemui Republika di Bandara AMA Madinah.
Stiker terpasang, bus bersiap jalan, tapi jamaah asal Embarkasi Lombok yang rencananya diangkut itu hari belum semua terkumpul di paviliun. Petugas wukala dan naqabah dari Arab Saudi sudah mendesak-desak agar jamaah dimasukkan terlebih dulu meski belum lengkap.
Muhammad Nur (43 tahun) tak bersedia memenuhi permintaan itu. Dengan bahasa Arab, ia merayu petugas Arab Saudi untuk memberi waktu bagi jamaah berkumpul dan beristirahat sejenak.
“Kita tidak boleh keras melawan orang Arab. Harus kita kasih pengertian pelan-pelan,” ujar pria asal Mamuju, Sulawesi Barat tersebut.
Lembut dengan petugas Arab Saudi, Muhammad Nur tegas terhadap jamaah. Suaranya sudah hampir habis berteriak sejak hari pertama kedatangan pada Selasa (17/7) guna mengarahkan jamaah. Di Paviliun 5 Bandara AMA Madinah kala itu, ia kemudian memilah-milah lokasi duduk jamaah di ruang tunggu agar sesuai rombongan.
Pada masing-masing rombongan, ia menjelaskan lokasi pemondokan dan jalur menuju Masjid Nabawi. Pelantang yang biasa ia pakai tak ada itu hari. Jadilah urat-urat lehernya nampak kala berteriak memberi penjelasan.
Sudah sembilan tahun ia menjalani pekerjaan sebagai tenaga pendukung jamaah haji. Seperti Jabir, ia mendaftar lewat jalur mukimin ke Kantor Urusan Haji (KUH) di Jeddah.
Sepanjang rentang ‘kariernya’, ia sudah hafal karakter jamaah masing-masing embarkasi. “Ada yang nurut-nurut dan nrimo, ada yang keras tapi nurut, ada juga yang suka protes,” kata dia.
Bersama Jabir dan Muhammad Nur, ada juga Cholis Tomim (50 tahun). Mukimin asal Madura ini punya tugas bernegosiasi dengan petugas-petugas Arab Saudi. Merantau sebagai TKI ke Saudi sejak 20 tahun lalu, ia sudah rutin jadi tenaga pendukung sejak 2001.
Ia juga tegas terhadap jamaah, mendorong masing-masing lebih lekas menuju bus masing-masing. Kulitnya yang legam, perawakan tubuhnya yang padat serta karakter wajah yang tegas mendukung sikap otoriter terhadap jamaah tersebut. Sekali buka suara, jamaah biasanya manut.
Hari itu, ia harus adu mulut dengan petugas Arab Saudi karena jamaah belum siap saat bus diminta berangkat. Dari waktu tiba pesawat sekira pukul 08.00 waktu setempat hingga sekitar pukul 10.00, jamaah belum juga lengkap untuk diberangkatkan. “Hampir mau disandera Kementerian Haji, saya,” kata dia dalam aksen Madura yang kental. Dengan rerupa cara negosiasi, akhirnya jamaah bisa berangkat.
Bukan rahasia, penyelenggaraan ibadah haji Indonesia adalah proses yang kompleks. Ia seperti mesin raksasa yang bisa macet bila salah satu komponennya ngadat.
Semisal Jabir luput memasang stiker, misalnya, alur penempatan jamaah dan jadwalnya bakal berantakan. Seremeh apapun pekerjaannya, ia adalah gir dan tuas yang memastikan mesin bisa terus berjalan.
“Memang sangat penting mereka. Kita saling melengkapi, kami mengerti proses penyelenggaraan, mereka yang mengkomunikasikan,” kata Sekretaris Daker Bandara PPIH Arab Saudi, Abdillah, terkait keberadaan para tenaga pendukung.
Ia menjelaskan, para tenaga pendukung di bandara biasanya menanyakan jadwal kedatangan pesawat, kemudian selekasnya meminta bus disiapkan dan mendorong jamaah. Para tenaga pendukung, biasanya dipilih yang memiliki skill komunikasi yang mumpuni dan bisa melobi petugas-petugas Arab Saudi.