Sikap politik mukimin membuat NICA berpikir tidak perlu lagi ada perjalanan ibadah haji dari Hindia-Belanda. NICA khawatir pengaruh politik mukiman akan dibawa pulang jamaah haji Indonesia ke tanah air.
Dingemans yakin pengaruh politik mukimin sangat besar. Mukimin pro-Republik Indonesia akan mencegah jamaah mendaftar ketibaan mereka ke Konsul Belanda di Jeddah, dan memaksa jamaah membuang tiket dan passpor mereka. Penyerahan passpor adalah pernyataan simbolis bahwa mereka bukan lagi warga Hindia-Belanda.
Untuk mencegah semua itu, menurut Dingemans, NICA harus menghentikan penyelenggaraan jamaah haji dari Hindia-Belanda. Atau, tetap menyelenggarakan perjalanan haji, tapi jamaah harus melapor ke Konsul Jeddah setelah turun dari kapal. Jika jamaah membuang tiket pulang dan menyerahkan passpor, jamaah harus melapor ke Konsul Mekkah jika ingin pulang, dengan terlebih dulu menyatakan kesetiaan kepada Hindia-Belanda.
Van Mook, pemimpin NICA dan Letnan Gubernur Jendeal Hindia-Belanda, punya pandangan lain. Menurutnya, Islam dan politik tidak dapat dipisahkan. Jadi, apa pun saran pemerintah kepada calon jamaah haji akan dianggap sebagai campur tangan terhadap urusan agama.
Pemeriksaan paspor jamaah haji di pelabuhan Jeddah tahun 1920-1940-an. (Gahetna.nl)
Namun Van Mook setuju dengan rekomendasi Dingenmans mengenai perlunya menasehati jamaah tentang pentingnya passpor selama perjalanan. Jamaah akan mendapat bimbingan dan informasi dari pemimpin rombongan. Ia menginstruksikan Konsul Belanda di Jeddah untuk menghormati jamaah, agar orang Islam di Indonesia mendapat kesan diperlakukan dengan baik oleh pemerintah yang non-Muslim.
Perjalanan haji pada 1946, atau tahun pertama Revolusi Kemerdekaan, sepi peminat. Hanya 70 orang yang berangkat, dari kuota 3.000 orang jamaah. Penyebabnya, perlawanan Republik Indonesia terhadap kebijakan NICA.
Perlawanan tersebut dipicu kunjungan Ch O Van Der Plas, pakar Islam yang duduk di kabinet Van Mook, ke Kalimantan Selatan dan menawarkan ke pemuka agama Islam untuk berhaji. Tawaran dilakukan terbuka, dengan menyebarkan pamflet ke seluruh desa, yang memicu reaksi keras Masyumi -- partai politik Islam saat itu.
Lewat koran Al Djihad, Masyumi menuduh NICA menggunakan perjalanan haji sebagai alat propaganda. Tawaran berhaji kepada tokoh Muslim Kalimantan Selatan, menurut Al Djihad, semata untuk merayu umat Islam agar mendukung Belanda.
KH Hasyim Asy'ari, anggota Masyumi dan pendiri NU, dalam pidato radio pada 20 April 1946 menyatakan: pergi haji haram ketika kemerdekaan negara terancam! Ia juga melihat tawaran berhaji dari pemerintah Belanda sebagai upaya mencegah Muslim menjalankan tugas sucinya; membela Islam dan memerdekakan negara. Namun ia menyarankan kepada mereka yang sangat ingin berhaji agar menggunakan kapal di luar Kongsi Tiga.
KH Hasyim Asy'ari. Foto ini koleksi anak dari seorang santri yang ayahnya menjadi murid KH Hasyim As'ari di Tebu Ireng. (Istimewa).
Sangat sedikit Muslim dari Jawa menunaikan ibadah haji. Belanda hanya bisa membujuk puluhan pemuka agama Islam dari Kalimantan Timur dan Selatan, karena di kedua wilayah ini NICA bisa merestorasi pemerintahan.
Pada tahun 1947, pemerintah Hindia Belanda menetapkan kuota haji sebar 4.000 jamaah. Jumlah sekecil ini (kuota haji Indonesia di tahun 1920-an lebih dari 20.000 jamaah, red) terjadi karena sedikitnya nilai tukar asing. Hampir seluruh kuota terisi, dan kebanyakan jamaah berasal dari Kalimantan Selatan dan Timur sebagai dua wilayah yang menjadi bagian Federasi Republik Indonesia Timur. Sisanya sebanyak 500 jamaah haji yang berasal dari wilayah di Jawa dikontrol NICA secara ketat.
Di Kalimantan Selatan, pada akhir 1946, NICA membentuk Badan Pengoeroes Keselamatan Hadji (BPKH), sebagai penyelenggara perjalanan haji. BPKH bekerjasama dengan Shaikh Bachmid, menteri negara urusan agama Republik Indonesia Timur.
Di Kalimantan Timur, Dewan Ulama Hulu Sungai menjadi penyelenggara perjalanan haji. Di Surabaya, kota yang dikontrol Belanda, Abdul Gafur -- seorang penghulu pengadilan -- diberi tanggung jawab mengorganisir perjalanan haji. Ia dibantu sebuah komite terdiri dari lima orang.
Pemeriksaan imigasri jamaah Indonesia di Jeddah tahun 1920-an. (gahetna.nl)
Yang menarik adalah pemerintahan Van Mook menurunkan ongkos naik haji (ONH) dari 170 pound menjadi 146 pound, dan berkurang lima pound setiap tahun.
Dari kuota 4.000, 3.000 calon jamaah haji berasal dari Indonesia Timur dan Kalimantan, 500 orang berasal dari kota-kota di Jawa dan Sumatera yang dikontrol Belanda. Lainnya dari wilayah-wilayah republik.
Jumlah calon jamaah haji sebenarnya jauh melebihi kuota. Jumlah yang mengajukan permintaan paspor dari Kalimantan, misalnya, mencapai 2.500 dan dari Indonesia Timur mencapai 2.000. Ada 2.000 lagi yang mengajukan passport untuk perjalanan haji, dan ditolak.
Musim haji 1947 juga ditandai pengiriman seorang petugas resmi pemerintah yang disebut Emir Al Haj, untuk memimpin jamaah dari Indonesia Timur. Namun, tidak mudah mengirim emir ke Arab Saudi. Pemerintah Van Mook butuh persiapan lama, dan melakukan pendekatan berbeda ke Riyadh.
Gagasan mengirim emir ke Arab Saudi kali pertama muncul dalam pertemuan antara Van der Plas dengan perwakilan Negara Indonesia Timur (NIT) pada pekan pertama Juli 1947. Pertemuan memutuskan Hindia-Belanda perlu mengirim Emir Al Hajj sebagai utusan resmi negara. Emir Al Hajj, demikian usulan dari NIT, harus mengadakan kunjungan singkat ke Raja Mesir, sebelum kedatangan Van Mook ke negeri itu.
Tak lama kemudian, tepatnya 8 Juli 1947, Van Mook memutuskan menunjuk Sheikh Bachmid sebagai menteri negera untuk memimpin misi ke Mesir. Sheikh Bachmid adalah Indo-Arab dari Sulawesi Selatan. Menurut Van der Plas, pengiriman misi semacam itu ke negara-negara Arab berfungsi mengkonsolidasikan posisi NIT di antara kaum Muslim di Indonesia dan mukimin di Mekkah. Namun bagi mukimin, NIT adalah negara boneka Kristen.
Van der Plas berharap kaum Muslim dari Indonesia Timur menganggap misi haji resmi penting, karena terselenggara berkat inisiatif negara. Elink Schuurman, kepala Direktur Timur Jauh di Jakarta, mengatakan misi resmi dari NIT ke Arab Saudi dan Kairo berguna untuk melawan diplomasi Republik Indonesia yang dipimpin H Agus Salim.
Berbeda dengan Schuurman, Van Boetzelaer van Oosterhout -- menteri luar negeri Belanda di Den Haag -- menolak gagasan ini. Ia yakin kunjungan Sheikh Bachmid ke Kairo akan menjadi kontraproduktif. Bachmid, katanya, akan diejek sebagai orang NICA saat menghadap Raja Mesir bersama H Agus Salim. Menariknya, Van Oosterhout tidak keberatan penunjukan Emir Al Hajj ke Arab Saudi.
Namun, C Adriaanse, kepala urusan administrasi Kementerian Luar Negeri Hindia-Belanda, punya pendapat lain. Menurutnya, pengiriman Emir Al Hajj ke Arab Saudi akan menimbulkan pertanyaan soal kedaulatan. Kedatangan Emir Al Hajj akan membuat Arab Saudi mengerahkan pengawal bersenjata, dan pemerintah Arab Saudi akan keberatan. Ia juga menentang kunjungan ke Kairo.
A Jonkman, menteri urusan tanah jajahan Belanda, mengirim pesan ke Van Mook untuk menunda rencana pengiriman Emir Al Hajj dan misi ke Kairo sampai musim haji berikutnya. Van Mook setuju. Atas saran Dingemans, nama misi diubah menjadi 'Rais Bethat al Sharaf', yang artinya kepala misi kehormatan.
Kemlu Belanda di Den Haag setuju, dan menginstruksikan agar Sheikh Bachmid pergi ke Arab Saudi pergi ke Arab Saudi bukan sebagai pemimpin jamaah haji tapi utusan resmi NIT (Negara Indonesia Timur).
Situasi ini membuat Arab Saudi canggung. Di satu sisi mereka telah mengakui eksistensi Republik Indonesia, namun tekanan pemerintah Belanda mengharuskan Riyadh menerima misi NIT. Arab Saudi, suka atau tidak, harus menerima misi NIT.
Suasana sudut kota Makkah pada tahun 1910. (gahetna.nl)