Sabtu 04 Aug 2018 12:26 WIB

Ibnu Battuta, Cheng Ho, dan Jeddah

Dulu Jeddah dijadikan pintu masuk Muslim yang hendak melaksanakan haji di Makkah.

Warga tempatan berbincang sambil memancing dengan  latar pelabuhan peti kemas Jeddah, Kamis (2/8). Pelabuhan tersebut dulunya lokasi berlabuh kapal-kapal yang membawa jamaah haji asal Indonesia.
Foto: Republika/Fitriyan Zamzami
Warga tempatan berbincang sambil memancing dengan latar pelabuhan peti kemas Jeddah, Kamis (2/8). Pelabuhan tersebut dulunya lokasi berlabuh kapal-kapal yang membawa jamaah haji asal Indonesia.

IHRAM.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami dari Jeddah, Arab Saudi

JEDDAH -- Di sebelah barat pasar ikan di wilayah Hamra, Jeddah, ada seonggok kapal tua, sepenuhnya sudah di daratan, miring ditopang barang-barang rongsokan. Hampir seluruhnya terbuat dari kayu. Tingginya sekitar enam kali orang dewasa, panjangnya bisa 20 meter.

Anjungan kapal tersebut, lokasi nakhoda mengendalikan kapal, terletak di bagian depan geladak utama, tak jauh dari haluan kapal. Ada sisa-sisa ornamen klasik pada kayu-kayu yang dibangun jadi anjungan tersebut.

Ada bekas patahan tiang layar di bagian tengah kapal dan mendekati buritan. Warga yang saya temui di lokasi menuturkan bangkai kapal itu sudah lama ada di lokasi tersebut. Kapan persisnya, “wallhualam”, kata mereka.

Kerak-kerak dan kulit-kulit kerang masih membekas di lambung kapal menandakan ia sempat lama digunakan berlayar. Pada masa jayanya, ia mestinya sebuah wahana yang gagah dan megah, terlampau cantik untuk sebuah kapal nelayan.

Saya mengelilingi seantero wilayah pelabuhan Jeddah pada Kamis (2/8) lalu. Hanya yang sudah teronggok itu kapal kayu yang saya temukan. Yang jamak tanker-tanker raksasasa pengangkut peti kemas dan perahu-perahu fiber kecil nelayan.

Jeddah sudah lama jadi kota pelabuhan penting di Hijaz. Ia mula-mula didiami suku Quda’a dari yaman sekira setengah milenium sebelum masehi. Mereka mendirikan kampung-kampung nelayan di tepian Sungai Merah tersebut.

Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, pelabuhan Jeddah dijadikan pintu masuk bagi Muslimin dan Muslimah yang hendak melaksanakan haji di Makkah atau berziarah ke Madinah. Berbagai kerajaan, bahkan sempat sekawanan bajak laut, silih berganti menguasai wilayah itu. Namun perannya sebagai gerbang ke Tanah Suci tak pernah berubah.

Bangkai kapal di sebelah pasar ikan itu jadi pengingat soal betapa semaraknya dahulu para pelancong datang menggunakan kapal di Jeddah, tempat para pengelana singgah.

Salah satunya, Sayyid Amin, seorang pria paruh baya yang saya temui di kawasan Mina, alias pelabuhan Jeddah. Ia seorang paruh baya berbadan tambun dari Sudan. Ketika mengetahui asalnya, saya meminta bersalaman lagi kemudian menepukkan telapak kanan ke pundak kirinya, salam khas para sahabat dekat di Sudan.

Ia terkejut kemudian tertawa lebar dan membalas gestur tersebut. “Saya pernah ke Khartoum,” kata saya menjawab keterkejutannya. “Saya juga pernah ke Jakarta,” kata dia dengan antusias. Bekerja sebagai ahli membongkar kargo-kargo dari kapal membawa Sayyid Amin melanglang buana keliling dunia. Pada masa tuanya saat ini, ia lebih sering beristirahat di Jeddah.

Jauh sebelum Sayyid Amin, pada abad ke-14 ada juga seorang pengelana agung yang singgah di Jeddah. Namanya Ibn Battuta. Petualang asal Maroko itu mulanya berhaji ke Makkah mengambil jalur memutar melalui utara melintasi Sinai. Kemudian dari pelabuhan di Jeddah melanjutkan perjalanan kolosalnya ke sudut-sudut dunia Islam. Bahkan pada saat itu, dalam karyanya “Rihlah”, Ibnu Battuta menerangkan bahwa Jeddah adalah kota yang lebih terbuka dibandingkan kota-kota lainnya di Timur Tengah.

Sementara pada abad ke-15, Laksamana Cheng Ho bersama armada raksasanya yang ternama itu sempat mendekat juga. Meski berasal dari keluarga Muslim, Cheng Ho sebagai duta resmi Dinasti Yuan hanya bisa mengirimkan salah seorang wakilnya, Ma Huan bersama beberapa anak buah bersandar di Jeddah untuk kemudian melaksanakan haji ke Makkah.

Seturut peran klasiknya, Jeddah jarang sekali jadi tujuan akhir dari para pelancong yang singgah. Entah mereka hendak ke Tanah Suci, atau kembali ke rumah setelah berpayah-payah menunaikan ibadah haji. Sebagai lintasan jalur penaklukan seperti Iskandar Agung pada abad ke-2 sebelum masehi, atau juga sekadar membawa barang dagangan seperti kemenyan dari Yaman pada masa lalu atau mainan anak-anak dari Cina saat ini.

Bagaimanapun, para pengelana seperti Sayyid Amin, bawahan-bawahan Laksamana Cheng Ho, apalagi Ibnu Battutah mestinya paling paham bahwa kelana yang sekarang dengan genit disebut “travelling” itu tak pernah semata tentang tujuan. Ia terutama juga kisah tentang persinggahan-persinggahan, tentang proses menuju tempat yang dituju.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement