Rabu 22 Aug 2018 06:27 WIB

Tangis-Tangis di Arafah

para pembimbing mengingatkan substansi khutbah wada’ yang disampaikan Rasulullah SAW

Fitriyani Zamzami
Foto: dok. Pribadi
Fitriyani Zamzami

IHRAM.CO.ID, Tenda di Maktab 20 kompleks pemondokan jamaah haji Indonesia itu tak ramai. Hanya sekira 20 lelaki dan 20 perempuan hadir saat khutbah wukuf mulai dibacakan di bangunan dari besi dan terpal tersebut. Jamaah itu berasal dari Mojokerto dan datang dengan Kloter 79 Embarkasi Surabaya.

Mustakin Rozak, sang pembimbing rombongan yang naik panggung hari itu. Dengan pelantang, suaranya masih harus beradu kencang dengan khutbah di mushala utama tenda misi haji Indonesia yang disampaikan KH Yahya Cholil Staquf.

Seperti khutbah di tenda-tenda lain, para pembimbing mengingatkan substansi khutbah wada’ yang disampaikan Rasulullah SAW saat berada di Arafah guna melaksanakan haji terakhirnya. Mustakin mengingatkan soal bagaimana sesama manusia bersaudara dan larangan menyakiti orang lain siapapun dia.

Soal bagaimana jamaah harus lebih arif menyikapi perbedaan nantinya saat pulang ke Tanah Air. Soal jamaah haji yang menghimpun jamaah dari berbagai bangsa, bukannya memisahkan.

 

Ia juga mengingatkan soal pentingnya membantu mereka-mereka yang sedang dalam kesusahan. Bahwa salah satu amalan yang paling baik di sisi Allah adalah meringankan beban orang lain. “Allah punya matematika yang berbeda, apa yang kita berikan akan dibalas berlipat ganda,” ujarnya.

Kemudian tiba pesan terakhirnya. “Yakinlah, bapak-ibu, pada detik ini juga, di tempat ini, dosa-dosa kita sebelumnya diampuni,” kata dia dengan sedikit tercekat.

Jamaah yang mendengar seketika runtuh. Janji Allah bagi para hamba yang berwukuf itu seperti gelombang kejut yang membuat seluruh jamaah larut dalam tangis masing-masing. Saya bayangkan, seperti saya, kelebatan seumur hidup yang telah mereka jalani melintas di pikiran.

“Mau bilang apa lagi, Mas, kita ternyata memang banyak dosanya,” kata Zulkifli (50 tahun) salah seorang jamaah yang mendengarkan khutbah Mustakin itu. Matanya masih sembab selepas menangis. Di sampingnya, sang istri juga masih sesenggukan.

Bukan mereka sendiri yang menangis siang itu. Di tenda mereka, nampak para suami-istri saling meminta maaf sambil menangis sejadi-jadinya. Para jamaah yang duduk sendiri-sendiri dalam sunyi, lelaki dan perempuan juga larut dalam tangis. Mencari ceruk-ceruk teduh di Arafah, mencari ampunan.

Pada malam hari menjelang wukuf tersebut, ada badai melanda tenda-tenda jamaah Indonesia di Arafah. Awan hitam sudah menggulung sejak sore hari ditingkahi debu-debu yang terbawa angin.

Ia datang tak terduga mengingat langit sedemikian cerah sepanjang hari itu. Biru tanpa cela. Hanya pengap luar biasa di tenda-tenda jamaah yang sedikit memberi tanda bahwa sesuatu akan terjadi sore itu.

Saat maghrib tiba, amuk alam datang. Angin kian kencang menggoyang tenda-tenda jamaah disertai rintik-rintik hujan. Terpal-terpal seperti mau dikoyak-koyak. Banyak jamaah ketakutan dan meneriakkan tahlil dan takbir.

Sebagian berlari keluar dari tenda yang bergoncang hebat. Lainnya bertahan sambil beramai-ramai mendaraskan doa dalam tenda.

Ia badai yang tak sebegitu lama. Tapi dahsyatnya mampu menggentarkan hati. Meski sekilas, menyapu cuaca panas yang membuat tumbang banyak jamaah hari itu.

Banyak jamaah terpana dengan fenomena tersebut. “Kita baru dibegitukan sama Allah saja sudah ketakutan,” kata Rustam, seorang jamaah dari Banjarmasin. Pelajaran yang mereka coba ambil, jika Allah sudah punya mau, apapun kondisinya bisa Ia balik seketika secara drastis dan begitu saja.

Kejadian pada malam hari itu semacam jadi metafora sempurna untuk apa yang menjelang keesokan harinya. Jika Allah berkehendak, panas menahun bisa ia hapus dengan badai yang sekejap saja. Bila Allah mengabulkan, dosa sepanjang hidup bisa diampuni dalam sekejap seperti yang diharapkan jutaan jamaah haji yang berkumpul di Arafah hari itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement