Kamis 06 Dec 2018 12:44 WIB

Indonesia-Arab Saudi: Hubungan Monumental Berbilang Abad

Dari zaman kuno hubungan Nusantara dengan Makkah (Arab Saudi) bernilau Multidimensi.

Wayang Menak
Foto: filck.com
Wayang Menak

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Hubungan Indonesia dan Saudi Arabia semenjak dahulu emang unik. Bahkan, 500 tahun silam dan bisa lebih lama karena terkait dengan soal penyebaran Islam di Nusantara. Ingat Buya Hamka pada 1970-an pernah mengatakan Islam itu dibawa langsung dari Makkah yang kini menjadi wilayah Saudi Arabia. Pernyataan ini menghapus stigma sejarah kolonial bahwa Islam di Indnesia dari Gujarat (India) dengan dasar bentuk batu nisan kuno makam Siti Maimun di Gresik. Dan kini ada yang mulai menyebarkan Islam sampai di Nusantara dari Cina dengan dasar adanya makam sahabat Nabi di Cina atau adanya ekspedisi Panglia Cheng Ho.

Namun, dalam catatan mutakhir, berdirinya Kerajaan Demak dan Mataram ternyata punya hubungan yang menjadi dasar apabila antara Makkah (yang menjadi wilayah Saudi Arabia masa kini) adalah sudah saling terkait erat satu sama lain. Dari dahulu kala, penguasa Jawa tercatat mencari legitimisi dengan mengirimkan para utusannya ke Makkah yang kini menjadi wilayah Arab Saudi. Mereka selalu berhubungan dengan penguasa wilayah atau lazim disebut dengan syarif Makkah yang merupakan wakil dari penguasa kerajaan Otoman yang kala itu menguasai daerah itu.

Eratnya hubungan ini terkespresi dengan munculnya misalnya kisah 'Wayang Menak' yang beriksah soal para sahabat nabi di antaranya Umar, Hamzah, Ali, Ustman dll. Jadi bila selama ini di klaim bahwa budaya Jawa hanya terpengaruh legenda India, Ramayana dan Barathayudha, kisah-kisah Arabia yang bernilai Islami juga sudah lama sekali eksis.

Bila dirunut lagi, pada awal kerajaan Demak (sekitar akhir dekade 1490-an) akan berdiri, tercatat dua kali Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) pergi ke Makkah. Setelah itu para penguasa berbagai kerajaan sesudahnya juga bertindak yang sama. Mereka tampaknya menjari semacam ‘ijazah’ atau pengakuan politik dan spiritual dengan mengirimkan utusan menemui syarif Makkah. Selain itu mereka juga ingin menyandarkan eksistensinya pada kekuasaan Otoman yang kala itu menjadi impreium dunia sebelum hancur berantakan pada tahun 1923.

Salah satu dengan apa yang dilakukan Sunan Gunung Jati itu dilakukan oleh raja atau penguasa terbesar kerajaan Mataram (Pangeran Rangsang/Sultan Agung). Sekitar tahun 1620 dan 1630 dua sengaja mengirimkan utusan ke Makkah. Tujuannya sangat penting yakni selain untuk menjalin hubungan antarnegara, Sultan Agung yang saat itu masih merupakan putra Mahkota Mataram dengan nama Pangeran Rangsan bermaksud meminta izin penggunaan gelar sultan di depan namanya ketika naik tahta.

Mengapa demikian? Jawabnya diantarana karena dia ingin mencari legitimasi kepada para wali/ulama yang saat itu menjadi kekuatan utama politik dan sosial di kerajaannya. Penggunaan  gelar dengan nama Sultan akan dijadikan momentum sebagai datangnya era baru sebab selama ini para gelar raja di Jawa memakai nama peninggalan era Majapahit, yakni ‘Susuhan.’

Uniknya, langkah Sultan Agung juga dilakukan oleh penguasa berbagai kerajaan di Nusantara yang lain. Penguasa Banten dan dan Makasar pun melakukan hal yang sama. Dan kini di Malaysia, yakni Kesultanan Johor) atau Brunei Darussalam juga memakai sebutan yang sama atas gelaran nama Raja mereka.

Dalam disertasi mengenai "Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII"  hasil disertasi DR Azyumardi Azra dalam disertasinya yang legendaris, menyatakan, sezaman dengan era Sultan Agung di Mataram, pada tahun 1640 dan 1641 Sultan Palembang pun mengirimkan beberapa pucuk surat ke Makkah yang dikirimkan melalui kapal-kapal Aceh.

Sama dengan itu, Kerajaan Makassar misalnya juga intens berkirim surat ke Syarif Makkah. Salah satu surat di antaranya dibuat untuk meminta pengiriman ulama. Eratnya hubungan wakil penguasa Turki di Makkah (Syarif Makkah) dengan para raja di nusantara diindikasikan terjalin sejak abad ke-16. Jadi sejak dahulu kala penguasa Makkah atau Syarif Makkah yang kini menjadi wilayah Saudi Arabia itu telah mengenal dengan baik mengenai sosok dan seluk beluk kepulauan Nusantara.

Bahkan, tak sekadar berhubungan dengan surat, penguasa Banten Sultan Abdul Qadir pada tahun 1638 M/1048 H mengirimkan utusan ke Makkah. Tujuannya sama dengan utusan Sultan Agung, yakni untuk meminta penggunaan gelar sultan dari Syarif Makkah. Dan sama sama halnya dengan Sultan Mataram tersebut, Sultan Banten ini juga menerima stempel, bendera, dan pakaian suci serta apa yang dipercayai sebagai jejak kaki Nabi Muhammad SAW dari penguasa Haramayn tersebut. Orang barat menyebut wayang Menak sebagai 'Arabic Face in Javanes Cultural' (wajah Arab dalam budaya Jawa).

Lebih berkesan lagi, setibanya utusan itu di Banten, maka semua pemberian Syarif Makkah tersebut diarak dalam sebuah prosesi mengelilingi Kota Banten. Hal yang sama juga terjadi pada setiap kali terjadi peringatan Maulid Nabi Muhammad (di Keraton Yogyakarta disebut Gregeb Mulud) juga melakukan hal serupa. Sisa prosesi peringatan Grebeg Mulud ini pun masih berlangsung sampai sekarang.

Tak hanya itu, pertukaran surat-menyurat di antara Istana Banten dan penguasa Haramayn yang saat itu berada dalam kekuasaan Turki Usmani tersebut terus berlanjut secara intens sampai menjelang akhir abad ke-17.

Selain itu, sisa jejak pengaruh Turki yang kala itu menguasi dua kota suci umat Islam, Makkah dan Madinah, juga membekas di dalam penataan lanskap kota-kota di Indonesia. Di masa lalu di depan bangunan istana raja atau pendopo kabupaten selalu tersedia sebuah lapangan atau alun-alun yang luas. Di sebelah kanannya berdiri bangunan masjid raya. Sedangkan, di bagian sebelah kirinya berdiri bangunan penjara. Sisa lanskap itu masih terlihat jelas di berbagai kota yang ada di Pulau Jawa.

                                              ******

Pengakuan eratnya hubungan Makkah yang kini menjadi wilayah Arab Sadui bahkan diakui langsung oleh penguasa kerjaan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono ke X. Pada pembukaan acara Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta pada Rabu (12 Februari 2015), Sultan menyatakan sebuah fragmen sejarag atau momentum yang menarik terkait hunungan kerajaannya dengan Makkah yang kala itu di bawah kekuasaan Otoman Turki. Sri Sultan secara terbuka mengakui adanya hubungan yang erat antara Kesultanan Yogyakarta dengan Kekhalifahan Usmani di Turki.

Sekadar diketahui, Kekhalifahan Usmani adalah kesultanan terakhir yang membawahkan seluruh kerajaan umat Islam di dunia dan runtuh pada 1924. Sultan mengatakan, Keraton Yogyakarta merupakan perwakilan kekhalifahan Islam di Jawa dan merupakan kelanjutan dari Kesultanan Demak.

Berikut isi sebagian pidato Sri Sultan Hamengku Buwono X pada Pembukaan KUII VI:

…Kongres Umat Islam ke-6 yang diselenggarakan di Yogyakarta dan kini pembukaannya Insya Allah berlangsung di Pagelaran Kraton Yogyakarta, mengandung makna simbolik sebuah ziarah spiritual, karena bangunan Pagelaran ini disangga oleh 64 buah tiang yang menandai usia Rasulullah SAW dan perhitungan tahun Jawa.

Sehingga, kongres yang dirancang untuk napak laku kongres sebelumnya yang juga dilaksanakan di Yogyakarta, (7-8 November 1945--Red) akan memberi makna historis, agar umat Islam melakukan introspeksi diri dan retrospeksi atas perjalanan sejarahnya.

Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan R Patah (sultan Demak pertama) sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam (Turki) untuk tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaah illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka'bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki.

Ketika 1935 Ataturk mengubah sistem kalender Hijriyah menjadi Masehi, jauh pada zaman Sultan Agung tahun 1633 telah mengembangkan kalender Jawa dengan memadukan tarikh Hijriyah dengan tarikh Saka. Masa itu sering disebut sebagai awal Renaisans Jawa.

Jika kita melakukan retrospeksi, dalam sejarah pergerakan Islam modern disebutkan, pada abad 19-20 muncul gerakan kebangkitan Islam. Pelopornya adalah Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, dan Ali Jinah. Mereka menganjurkan agar kaum Muslim membumikan ijtihad dan jihad fi sabilillah, serta memperkokoh solidaritas Islam.

Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa keberangkatan KH Ahmad Dahlan, yang saat itu adalah abdi dalem Kraton, justru atas dorongan dan dukungan Sri Sultan HB VII. Bakda membaca dalam "Tafsir Al Manaar" karya Abduh, pada 1912 ia pun mendirikan perserikatan Muhammadiyah di Yogyakarta.

Dalam artikel: "Indonersianisme dan Pan-Asiatisme", Bung Karno menulis "... abad-20 sudah tidak menjadi abad perbedaan warna kulit lagi, tapi sudah berubah menjadi abad yang memberikan jawaban terhadap problem of the colour-line.

Dalam tulisan lain, "Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara?" Bung Karno mengutip tulisan Frances Woodsmall, "Moslem Women Enter A New World", bahwa Turki

Modern adalah antikolot, antisosial lahir dalam hal ibadah, tetapi tidak antiagama.

Islam sebagai kepercayaan person tidaklah dihapuskan, sembahyang di masjid-masjid tidaklah diberhentikan, aturan-aturan agama pun tidak dihapuskan. "Kita datang dari Timur, kita berjalan menuju ke Barat", demikian entri point artikel Bung Karno tersebut mengutip tulisan Zia Keuk Alp.

Di tahun 1903, saat diselenggarakan Kongres Khilafah di Jakarta oleh Jamiatul Khair, yang berdiri 1903, Sultan Turki mengirim utusan Muhammad Amin Bey. Kongres menetapkan fatwa, haram hukumnya bagi Muslim tunduk pada penguasa Belanda, dengan merujuk ajaran Islam "Hubbul wathan minal iman" (cinta tanah air adalah bagian dari iman). Dari kongres inilah benih-benih dan semangat kemerdekaan membara.

Dalam bukunya: "The Rising Tide of Colour Against White World-Supremcy" (1920), Lothrop Stoddard mendalilkan keruntuhan supremasi kolonialisme Barat, karena cepatnya pertumbuhan (tide = pasang naik) populasi  penduduk kulit berwarna. Dalam buku berikutnya, "The New World of Islam" (1921), ia meramalkan kebangkitan Dunia Islam di awal abad 20 untuk meraih kembali kejayaan masa silam adalah suatu keniscayaan sejarah ..

                                     ****

Tak hanya itu saja, pada awal kemerdekaan ada bukti sejarah yang menarik. Ternyata pengakuan Indonesia sebagai sebuah negara dinyatakan oleh negara Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya. Di sini ada peran dan jasa H Agus Salim dkk. Hal ini juga berasal dari dukungan para pelajar/mukimin asal Nusantara yang kala itu tinggal di Makkah. Mereka menyatakan tak mau memperbarui paspor mereka bila tetap merupakan paspor Hindia Belanda.

Jadi alangkah elok dan beradabnya peran yang sudah berlangsung sangat lama dan monumental itu kini tak dirusak dalam suasana emonsional. Saudi Arabia dengan Indonesia (Nusantara) punya hubungan historis, eknomoni, politis, budaya yang sangat kuat. Bila ada masalah tahan dirinya sebab kalau ngawur maka yang rugi diri kita sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement