Rabu 19 Dec 2018 19:53 WIB

Penyelenggara Umrah Tolak Kebijakan Rekam Biometrik

Kebijakan Pemerintah Arab Saudi sangat membebani calon jamaah umrah.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Andi Nur Aminah
Ketum AMPHURI Joko Asmoro dan jajarannya memberi keterangan pers menolak kebijakan rekam biometrik sebagai persyaratan pengajuan visa umrah, di Kantor DPP AMPHURI, Jakarta, Rabu (19/12).
Foto: dok. AMPHURI
Ketum AMPHURI Joko Asmoro dan jajarannya memberi keterangan pers menolak kebijakan rekam biometrik sebagai persyaratan pengajuan visa umrah, di Kantor DPP AMPHURI, Jakarta, Rabu (19/12).

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI), Joko Asmoro menyampaikan keberatan dan penolakannya atas pemberlakuan kebijakan rekam biometrik oleh Pemerintah Arab Saudi melalui operator Visa Facilitation Services (VFS) Tasheel. Pemerintah Arab Saudi mengharuskan calon jamaah umrah melakukan rekam biometrik sebagai persyaratan pengurusan visa umrah.

Joko mengatakan, kebijakan Pemerintah Arab Saudi sangat membebani calon jamaah umrah. Pasalnya, kantor VFS Tasheel yang ada di Indonesia tidak memadai dan tidak ada di pelosok-pelosok. Padahal banyak calon jamaah umrah berasal dari desa dan kabupaten terpencil.

"50 persen calon jamaah umrah kita berasal dari desa, sehingga mereka akan sangat kesulitan untuk melakukan rekam biometrik (di kantor VFS Tasheel) yang hanya ada di beberapa provinsi dan kota besar saja," kata Joko kepada Republika.co.id, Rabu (19/12).

Ia mengungkapkan, calon jamaah umrah harus bolak-balik ke kantor VFS Tasheel yang ada di luar provinsi tempat tinggal mereka. Seperti diketahui, geografis Indonesia terdiri atas ribuan pulau dan sangat luas.

Calon jamaah umrah tidak hanya terkendala waktu dan jarak ke kantor VFS Tasheel. Mereka juga memiliki kendala finansial untuk ongkos menuju kantor VFS Tasheel.

"Pernah ada jamaah yang berasal dari sebuah desa terpencil datang mengeluhkan kepada kami, mereka harus mengeluarkan biaya tambahan dari Rp 1 juta hingga Rp 6 juta hanya untuk ongkos dan penginapan selama mengurus rekam biometrik," ujarnya.

Joko mengungkapkan, hal tersebut membuat pengusaha umrah prihatin. Kemudian pengusaha umrah melakukan upaya untuk melobi Pemerintah Arab Saudi agar mau mempertimbangkan kebijakan rekam biometrik, supaya kebijakan tersebut dihapus.

Pekan lalu, Permusyawaratan Antarsyarikat Travel Umrah dan Haji Indonesia (PATUHI) telah menemui Wakil Menteri Haji Arab Saudi bidang Umrah di kantornya yang ada di Jeddah, Arab Saudi. PATUHI menyampaikan aspirasi calon jamaah umrah Indonesia yang merasa sangat keberatan dengan kebijakan rekam biometrik.

Joko juga menilai pelayanan VFS Tasheel yang mulai diberlakukan pada Senin (17/12) belum siap melayani calon jamaah umrah Indonesia. Setiap tahun lebih dari satu juta calon jamaah umrah Indonesia berangkat ke Arab Saudi.

"Bisa dibayangkan, rata-rata per hari kita mengajukan antara 10 ribu sampai 20 ribu visa,  namun kemarin di hari pertama pemberlakuan kebijakan rekam biometrik, kita belum bisa menyetorkan visa karena belum adanya proses rekam biometrik," ujarnya.

Ia menjelaskan, di hari kedua, AMPHURI hanya bisa mengajukan empat calon jamaah umrah yang sudah melakukan proses rekam biometrik di kedutaan. Di hari ketiga, baru bisa diselesaikan proses rekam biometrik untuk 110 calon jamaah umrah. Sebab calon jamaah umrah mengalami kendala.

Joko menambahkan, jika kondisi ini berlarut, maka tidak hanya pelayanan jamaah umrah di Indonesia saja yang terkena imbasnya. Tentu akan berimbas pada akomodasi, pelayanan katering dan hotel di Arab Saudi.

"Pekan lalu, juga sudah kami sampaikan pada pengurus Kadin Kota Makkah terkait imbas dari kebijakan rekam biometrik ini. Mereka pun berharap hal ini tidak terjadi dan mereka akan berupaya melobi dan menjelaskan hal ini kepada pemerintahnya," kata Joko.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement