IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj meminta Kementerian Agaman (Kemenag) menjelaskan bagaimana ketentuan hukum Islam ketika dana jamaah haji waiting list digunakan untuk mensubsidi jamaah haji yang berangkat tahun ini. Penjelasan dari Kemenag diperlukan untuk menjawab keraguan dalam penggunaan dana optimalisasi haji oleh jamaah haji yang diberangkatkan tahun ini.
“Secara hukum Islam perlu dilihat masalah ini. Apakah boleh kemudian jamaah haji yang berangkat tahun ini disubsidi oleh jamaah haji daftar tunggu, bagaimana ketentuan hukum Islamnya,” kata Mostolih saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (6/2).
Untuk itu Mustolih menyarankan, dalam menggunakan ketentuan Istitaah, Kemenag tidak menggunakannya untuk mendapatkan calon jamaah haji (calhaj) mampu secara kesehatan. Akan tetapi, istithaah juga harus menjadi ukuran jamaah mampu secara finansial. “Padahal ada syarat Itithaah kemampuan finansial dan kemampuan secara kesehatan,” katanya.
Menurut Mustolih, penetapan besaran BPIH yang telah ditentukan Kemenag dan DPR sebesar Rp 35,2 juta saat ini menjadi masalah bagi Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH) sebagai badan yang diberikan kewenangan mengelola dana haji seperti yang diatur Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengeloaan Keuangan Haji.
Sesungguhnya, jika melihat satuan komponen penyelenggaraan haji 2019 ini besaran biaya penyelenggaraan haji realistisnya sebesar Rp 50 juta sampai 60 juta, bukan Rp 35,2. Karena Rp 35,2 itu yang sudah diberikan subsidi sekitar Rp 15 juta dari dana akumulasi jamaah haji waiting list.
“Bisa di breakdown bahwa postur kebutuhan jamaah haji perorangan itu bisa menyentuh angka Rp 50 juta sampai Rp 60 juta,” katanya.
Mustolih mengatakan, besaran BPIH yang telah ditentukan DPR dan Kemenag sebesar Rp 35,2 juta, jika menggunakan angka Rp 50 juta perjamaah, maka setiap jamaah disubsidi oleh jamaah waiting list sebesar Rp 15 juta. “Jadi 15 juta dikali 210 ribu orang nilainya sangat besar dan ini menjadi problem,” katanya.
Menurut dia banyak masalah lain yang perlu dicermati DPR dan Pemerintah. Salah satu di antarnya yang perlu dicermati adalah terkait penetapan BPIH lebih awal yang rawan perubahan-perubahan komponen penyelenggaraan haji.
Apalagi kata dia, penyelenggaraan haji masih empat bulan lagi batas waktunya. Sehingga waktu yang masih relatif panjang itu bisa berubah, ketika kurs dolar terhadapan rupiah naik yang dapat menguras habis dana optimalisasi. “Kalau misalnya ada kenaikan avtur bahan bakar pesawat yang menggunakan dolar sewaktu-waktu bisa naik, karena 60 persen untuk penyelenggaraan haji itu tersedot untuk biaya transportasi udara dalam hal ini pesawat,” katanya.
Untuk itu pemerintah disarankan segera mengantisipasi dan mencarikan soluasinya. Misalnya, bagaimana jika beberapa komponen dalam penyelenggataan haji tiba-tiba ada perubahan. Karena pada akhirnya ini bisa merugikan jamaah daftar haji tunggu.