IHRAM.CO.ID, JAKARTA — Dalam ensiklopedi fikih mini yang berjudul al-Wajiz fi Fiqh as-Sunnah wa al-Kitab al-Aziz, dijelaskan pengertian, sebab, dan jenis-jenis dam. Definisi dam, menurut etimologi, ialah darah. Ini karena bentuk dam paling utama ialah berwujud pada penyembelihan hewan.
Ensiklopedi yang dikarang oleh Syekh Abd al- Adzim bin Badawi al-Khalafi tersebut mengemukakan definisi dam menurut syariah ialah denda atau tebusan yang wajib dibayar oleh jamaah haji akibat pelanggaran ketentuan dan peraturan haji. Di antara contoh pelanggaran itu, misalnya, melanggar larangan ihram seperti memakai pakaian. Bentuk pelanggaran lain, seperti tidak menunaikan wajib haji, mibat di Mina, atau Muzdalifah.
Pemberlakuan dam, salah satunya merujuk pada ayat 196 surah al-Baqarah. “Dan, sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit) maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur) maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi, jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu) maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah 10 (hari) yang sempurna.”
Syekh al-Khalafi menyebutkan bahwa para ulama sepakat, pelanggaran-pelanggaran yang berdampak pada pemberlakuan dam ialah melakukan haji qiran atau tamattu’, tidak ihram dari miqat, tidak mabit I di Muzdalifah, tidak mabit II di Mina, tidak melontar jumrah, serta tidak tawaf wada.
Menurut al-Khalafi, dari jenis pelanggaran ini maka dam dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori. Jenis yang pertama ialah dam haji tamattu’ dan haji qiran. Dam ini dibayar oleh mereka yang meggabungkan antara umrah dan haji. Bila tamattu’ maka ia umrah terlebih dahulu sebelum berhaji. Sedangkan, qiran ialah melaksanakan haji dan umrah dalam satu niat sekaligus (QS al-Baqarah ayat 196).
Sedangkan, klasifikasi yang kedua ialah dam fidyah. Jenis dam ini mesti dibayar oleh jamaah haji yang mencukur rambut, memotong, mencabut rambut, atau bulu badan, entah karena sakit atau hal lainnya. Mengenakan pakaian terlarang sewaktu ihram, memakai minyak wangi pada rambut atau jenggot dan badan atau pakaian, juga masuk dalam kategori ini. Rujukannya masih pada ayat 196 surah al-Baqarah.
Kategori dam berikutnya ialah dam jaza’. Dam ini wajib dibayar oleh mereka yang melakukan satu dari dua hal berikut, yaitu memburu binatang darat yang boleh dimakan dagingnya, menebang, memotong, dan mencabut tanaman di Tanah Suci.
Dendanya yang harus ia bayar ialah menyembelih seekor kambing atau memberi tebusan kepada fakir miskin. Nilainya setara dengan harga satu kambing tersebut di pasaran. Opsi lainnya ialah berpuasa selama 10 hari.
Kategori dam yang lain, yaitu dam ihshar. Ini merupakan dam yang wajib dibayar jamaah ketika mereka terkendala menyempurnakan manasik karena satu dan lain hal. “Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit) maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat.” (QS al-Baqarah [2]: 196).
Sedangkan, jenis dam yang terakhir ialah dam jima’. Maksud dari kategori ini ialah denda yang lazim dibayar oleh jamaah haji akibat bersenggama dengan istri. Menurut Syekh Abdullah bin Ibrahim al-Qar’awi, ia wajib menyembelih seekor kambing untuk para fakir yang berada di Tanah Haram.
Bila peristiwa tersebut berlangsung sebelum prosesi tahalul pertama atau sebelum pelaksanaan jumrah aqabah maka perbuatan itu merusak kesempurnaan ibadah hajinya. Bahkan, menurut sebagian kalangan, hajinya terancam batal.
Hanya, ibadah tersebut tetap wajib disempurnakan. Pelaku senggama tersebut wajib menyembelih seekor unta di Tanah Haram. Bila tidak mampu maka ia wajib berpuasa 10 hari.
Dengan perincian, tiga hari dilakukan selama berada di Tanah Suci sedangkan sisanya, yaitu tujuh hari, dibayar sekembalinya ke kampung halaman. Ini pendapat mayoritas sahabat, seperti Umar bin Khatab, Abu Hurairah, Ibn Abbas, dan lainnya.