IHRAM.CO.ID, Oleh Syahruddin El-Fikri dari Madinah, Arab Saudi
Rombongan jamaah haji Indonesia sudah mulai bergerak ke Tanah Suci. Khususnya di Madinah Al-Munawwarah, Arab Saudi. Hingga Ahad (7/7) waktu Arab Saudi, tak kurang dari 20 kelompok terbang (kloter) yang mendarat di Bandara Prince (Amir) Muhammad bin Abdul Aziz, Madinah. Sabtu (6/7) sebanyak empat kloter, dan pada Ahad (7/7) sebanyak 14-15 kloter kembali tiba. Kloter terakhir yang tiba pada Ahad (7/7) malam sekitar pukul 22.30 waktu Arab Saudi adalah kloter 1 asal Embarkasi Ujung Pandang (UPG).
Secara total, dari kloter pertama yang tiba di Madinah hingga hari Ahad sebanyak 7.353 jamaah. Perinciannya, 1.800 jamaah di hari Sabtu, dan 5.553 pada Ahad (7/7). Rencananya, Senin (9/7) ini sebanyak 12 kloter kembali akan berangkat ke Tanah Suci menuju Madinah.
Pergerakan keberangkatan ini akan terus berlangsung hingga terakhir pemberangkatan menuju Madinah pada 20 Juli mendatang. Ini baru selesai untuk gelombang pertama. Selanjutnya, jamaah haji gelombang kedua akan diberangkatkan menuju Jeddah hingga terakhir keberangkatan pada 6 Agustus 2019. Sehingga total, yang melaksanakan ibadah haji tahun ini mencapai 214 ribu jamaah haji regular dan 17 ribu jamaah haji non-reguler atau jamaah haji khusus (ONH Plus).
Total jamaah haji Indonesia berjumlah 231 ribu orang. Jumlah jamaah yang demikian besar ini menunjukkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia mengirimkan kontingen terbesar di dunia dalam perhelatan pelaksanaan ibadah haji 2019.
Sebenarnya tidak terlalu mengherankan, mengingat Indonesia sudah mengirimkan jamaah terbesar setiap tahunnya. Belum ada negara lain yang jumlah warganya menunaikan ibadah haji sebanyak Indonesia. Dan tahun 2019 ini pula, merupakan jumlah terbesar dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Maknanya apa? Indonesia itu negara yang hebat. Sangat luar biasa dalam soal penyelenggaraan ibadah haji. Rasa bangga dan kagum akan kemampuan Indonesia menyelenggarakan ibadah haji di negeri orang. Kenapa? Mari kita bahas.
Pertama, persiapan penyelenggaraan ibadah haji itu berlangsung sekitar 9-10 bulan. Bandingkan dengan hajatan lain, persiapannya begitu panjang. Olimpiade, misalnya, perlu puluhan tahun sebuah negara mempersiapkan segala sesuatunya. Mungkin terlalu besar jika ukurannya Olimpiade. Asian Games, Piala Dunia, atau yang lingkup terkecil, SEA Games. Paling sedikit dua tahun waktu yang diperlukan untuk menyiapkan segala sesuatunya.
Kedua, jumlah jamaah atau masyarakat perhajian. Total 231 ribu pada tahun 2019 ini merupakan angka yang demikian besar bagi Indonesia mengirimkan ‘pasukan kontingen’ ke Arab Saudi. Sekelas olimpiade hanya puluhan hingga ratusan atlet. Asian Games, sekitar 700 atlet dan official. Jika diakumulasikan, untuk SEA Games, paling banter hanya 20 ribu orang yang terlibat di dalamnya dari seluruh Negara peserta. Maaf, itu belum seberapa dengan haji. Dari Indonesia saja jumlahnya 231 ribu, Malaysia sekitar 30-50 ribu, Pakistan dan Bangladesh (200 ribu), dan dari negara-negara lainnya secara total jamaah haji di Arab Saudi mencapai 2,5 juta hingga 3 juta orang.
Ketiga, tempatnya sangat terbatas. Arafah, Muzdalifah, Mina, dan Makkah. Dan dimulai sejak 8 Dzulhijjah hingga 13 Dzulhijjah. Khusus di Arafah, saat puncak haji, jamaah Indonesia yang menempati lokasi tenda hanya 0,8 meter setiap orang. Artinya, dengan lokasi yang terbatas, persiapan harus maksimal.
Keempat, usia ‘atlet-atlet’ jamaah haji sebanyak lebih dari 65 persen berusia lanjut atau di atas 60 tahun.
Tentu saja masih banyak lagi hal lainnya yang mestinya bisa diungkapkan. Artinya adalah betapa bangganya kita sebagai bangsa, mampu mengirimkan warganya melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci setiap tahun tanpa masalah.
Sungguh, begitu rumit persiapan penyelenggaraan ibadah haji. Tetapi, apa yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia, begitu luar biasa. Sebab, dalam penyelenggaraan ibadah haji ini melibatkan banyak departemen atau kementerian. Kementerian dalam negeri tentang kartu tanda penduduk (KTP), kementerian luar negeri untuk urusan visa ke pemerintah Arab Saudi.
Kemudian ada Kementerian Agama selaku koordinator penyelenggara ibadah haji, kementerian kesehatan tentang meningitis, serta persoalan kesehatan jamaah sebelum dan saat di Tanah Suci. Sebab, banyak jamaah berusia lanjut dan memiliki penyakit risiko tinggi (risti). Juga instansi lain seperti perguruan tinggi, ormas keagamaan, kementerian keuangan, dan lainnya.
Maka, jangan pernah menyepelekan penyelenggaraan ibadah haji. Faktanya, jauh lebih sulit dibandingkan sekelas SEA Games bahkan Olimpiade sekalipun. Banggalah kita sebagai bangsa, jangan selalu berburuk sangka dengan apa yang dilakukan para pemangku kebijakan untuk mendorong penyelenggaraan ibadah haji menjadi semakin baik. Salut.