IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Besarnya kunjungan wisatawan Muslim milenial mancanegara (jumlah 69 persen) ke Indonesia merupakan tren baru. Tren ini dampak dari pesatnya perkembangan teknologi informasi yang sebagian besar dimanfaatkan oleh kalangan milenial.
Ketua Tim Percepatan Pengembangan Pariwisata Halal, Anang Sutono menyadari kunjungan wisatawan Muslim milenial ke Indonesia ini memang menjadi tren yang baru. Menurut dia, hal ini berkaitan secara langsung dengan perkembangan teknologi dan informasi yang demikian cepat.
"Di era digital ini, semua mudah diakses dan hampir seluruhnya terbuka. Semua big data memuat hampir semua informasi terkait dengan pariwisata. Salah satunya adalah pergerakan wisatawan Muslim," kata Anang kepada Republika.co.id, beberapa waktu lalu.
Anang mengatakan laporan Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO) menyiratkan adanya kenaikan pergerakan wisata para pelancong Muslim milenial. Dengan demikian, kata dia, negara-negara anggotanya harus mempersiapkan diri menghadapi itu.
"Laporan UNWTO sudah mengindikasikan kenaikan itu. Jadi negara-negara anggotanya harus hati-hati, ini ada shifting paradigm, kelompok milenial sekarang sedang senang sekali melakukan perjalanan," kata Anang.
Tak hanya UNWTO, laporan Mastercard-CrescentRating melalui Indeks Perjalanan Muslim Global (GMTI) pada 2017 lalu, juga menyebut hal serupa, yakni pergerakan wisatawan Muslim milenial memang sudah luar biasa tinggi, angkanya bahkan mencapai 70 persen.
Menurut Anang, sebetulnya fenomena ini tergolong biasa karena saat ini adalah era digital, di mana semua informasi bersifat terbuka dan mudah diakses. Dengan demikian, siapapun bisa mendapatkan informasi apa saja terkait pariwisata. Apalagi kalangan milenial.
Generasi terdahulu, lanjut Anang, menabung untuk bisa membeli tanah, rumah atau mobil. Namun ini tidak berlaku untuk kalangan milenial.
Sebab mereka menganggap wisata sebagai kebutuhan. Tabungan mereka lebih digunakan untuk melakukan perjalanan wisata ke berbagai tempat.
"Bagi milenial, travel itu sudah masuk ke dalam fase kebutuhan. Dulu orang (menunggu) punya duit, baru traveling. Sekarang tidak. Anak-anak milenial menabung dulu. Kalau perlu, enggak beli baju atau sepatu yang bagus. Tetapi menabung, setelah itu traveling," ucapnya.
Di antara banyaknya destinasi wisata, jelas Anang, kalangan milenial lebih mengincar tempat-tempat yang menyuguhkan nuansa petualangan. Gaya wisatanya pun berbeda. Mereka cenderung datang dan pergi dalam waktu singkat, karena biasanya, tujuan utama mereka berwisata yakni untuk menunjukkan eksistensi di lingkup perkawanannya.
"Mereka hit and run. Mereka cenderung mengejar pengakuan. Dari siapa? Dari kelompoknya, milenial. Misalnya, saat banyak orang ke Labuan Bajo, 'oh saya belum, teman-teman juga belum', maka mereka mengumpulkan uang, Pergilah dia," kata Anang
Proses pergerakan wisatawan ke Indonesia tergolong cepat karena masifnya arus komunikasi di era digital terutama di media sosial (medsos). Misalnya saat milenial memutuskan berangkat ke Pulau Komodo. Maka yang mereka incar adalah mengambil foto komodo atau berswafoto di sana, lalu segera diunggah ke akun medsos.
Anang juga melihat, kebutuhan wisata kalangan milenial ini untuk mendapatkan pengalaman baru yang cenderung bisa dicapai jika melakukan perjalanan ke destinasi wisata bernuansa alam. Saat sudah menemukan kepuasan di objek wisata alam, barulah mereka akan beralih ke budaya.
Dalam upaya mendukung dan mempercepat pengembangan pariwisata halal, pemerintah membangun aksesibilitas di beberapa destinasi yang menjadi prioritas seperti Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur, dan Danau Toba di Sumatera Utara. Infrastruktur yang dibangun tak hanya terkait akses jalur udara, tetapi juga darat dan laut.
Di luar itu, lanjut Anang, pemerintah terus menggalakkan pembangunan jaringan konektifitas di berbagai destinasi wisata. Jaringan ini wajib dibangun karena sudah menjadi kebutuhan untuk mendorong arus wisatawan Muslim di era digital.
Pemerintah pusat, kata Anang, juga terus mendorong pemerintah daerah untuk betul-betul memanfaatkan peluang ini. Jika angka 69 persen yang besar ini tidak dimanfaatkan dengan serius, kesempatan tersebut akan hilang. Calon-calon wisatawan pun akan beralih ke negara lain. Padahal pariwisata bisa membantu membuat masyarakat sejahtera.
Salah satu bentuk dorongan yang telah dilakukan, jelas Anang, yakni dengan menggelar bimbingan teknis di berbagai daerah yang punya potensi pariwisata. Berbagai informasi, pengetahuan, dan peluang, disampaikan ke tingkat daerah agar mampu secara tepat memanfaatkan potensi pariwisata yang ada.
Sementara itu, Tourist Guide pada Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), Arsiya Puspita Heni, menuturkan, angka 69 persen kunjungan wisatawan Muslim milenial ke Indonesia merupakan wujud perkembangan yang baik. Dia mengakui kalangan milenial ini memang cepat menerima informasi.
"Apapun yang mereka inginkan by online bisa mereka dapatkan. Jadi mereka datang ke negara kita tinggal lihat sesuai enggak dengan apa yang mereka dapatkan di dunia maya," tuturnya.