Selasa 13 Aug 2019 05:03 WIB

Haji, Jihad, Kekalifahan: Nasihat Hurgronje Bagi Kolonial

Hurgronje memberi berbagai nasihat soal haji, jihad, kekhalifahan bagi penguasa kolon

Snouck Hurgronje paling kiri.
Foto: Pinterest.com
Snouck Hurgronje paling kiri.

Oleh: Beggy Rizkiyansyah, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Hari Raya Idul Adha telah kembali menghampiri. Istimewanya hari raya ini menjadi magnet berjuta-juta manusia dari berbagai penjuru dunia mengarungi dunia untuk menuju ke satu tempat, yaitu tanah suci. Tahun lalu saja ada 221 ribu jamaah haji dari Indonesia. Menduduki urutan pertama dalam jumlah jemaah yang berangkat, ibadah haji menjadi begitu spesial bagi umat Islam di tanah air. Bukan saja karena jaraknya yang hampir delapan ribu kilometer, tetapi ibadah haji memiliki pengaruh besar bagi umat Islam di negeri kita.

Sejak ratusan tahun lalu, muslim di nusantara menjalani perjalanan yang bukan saja melelahkan tetapi juga menembus bahaya untuk mencapai tanah suci. Meski demikian, jamaah haji dari nusantara memang terus memenuhi tanah suci dari dari masa ke masa. Jumlah ini semakin bertambah saat munculnya kapal uap yang lebih mempersingkat perjalanan haji dari tanah air. Di lain sisi pemerintah kolonial melihat para jamaah haji sebagai satu ganjalan kelanggengan mereka mendirikan kekuasaan di tanah air.

Sudah sejak lama, para haji ini menjadi ganjalan yang berarti. Para penguasa di nusantara merasa legitimasi dari tanah suci penting bagi kekuasaan mereka. Sultan dari Banten (1626-1656) misalnya, mendapatkan gelar Sultan Abu al-Mafakhir dari Penguasa Mekkah, Raja Syarif Jahed. Hubungan ini tak sekedar politik simbolik, tetapi dijalin dengan berbagai faktor, misalnya transmisi keilmuan.

Cucu Sang Sultan, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683) menjalin hubungan baik dengan salah satu ulama besar, Syaikh Yusuf al-Makassari. Sepulang dari tanah suci, Syaikh Yusuf menjadi mufti kesultanan Banten. Kisah selanjutnya kita mengerti, Sultan Ageng Tirtayasa dan Syaikh Yusuf bergeriliya melawan penjajah Belanda yang bersekongkol dengan putra Sultan.

Para ulama dan haji ini berjejaring, menyebarkan ilmu dan mengabarkan keadaan tanah air pada umat Islam di tanah suci. Di sana mereka juga menyerap ide-ide baru dari dunia Islam. Para jemaah haji nusantara mengabarkan keadaan tanah air (nusantara) yang sedang dihimpit penjajahan. Hal ini membuat para ulama nusantara di sana bereaksi. Penjajahan ditanggapi oleh ulama dengan mengobarkan jihad dari ujung sana.

Ulama besar nusantara yang menetap di tanah suci Syaikh Abdushomad Al-Palimbani misalnya, menulis kitab jihad Nasihah al-Muslimin wa Tazkirah al-Mu’minin fi Fada’il al-Jihad fi Sabil Allah wa Karamah al-Mujahidin. Ia juga mengirim surat pada raja di Jawa agar berjihad melawan penjajahan. Para haji yang kembali dari tanah suci jug menjadi motor berbagai pergolakan dan perlawanan terhadap kolonialisme di tanah air.

Menjelang awal abad ke-20, ide-ide pan-Islam yang digerakkan oleh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Syaikh Rashid Ridha menjalar ke tanah air, dibawa oleh jemaah haji dari tanah air. Ide-ide Pan-Islam pun menakutkan pemerintah kolonial. Ketakutan akan gerakan politik Islam ini tercermin dari bayangan masyarakat Eropa di Hindia-Belanda (kelak Indonesia) dengan penggambaran haji yang menyeramkan. Berbaju putih dan bersurban putih identik dengan dalang pemberontakan.

      Keterangan Foto: Jamaah Haji tiba di Pelabuhan Tanjung Priok.

Pemerintah kolonial bukannya tak bertindak atas pengaruh para haji ini. Tahun 1825 mereka menetapkan peraturan untuk membayar 110 gulden sebagai paspor haji. Jika tidak memiliki paspor haji, maka akan didenda 1000 gulden. Jumlah yang sangat besar pada masa itu. Tahun 1859, pemerintah kolonial menelurkan ordonansi haji. Selain harus mendapatkan izin untuk berangkat haji, aturan baru juga ditambahkan, diantaranya; harus melaporkan kepulangannya ke penguasa setempat dan harus mengikuti ujian haji. Jika dianggap lulus, maka jamaah boleh memakai pakaian haji dan diberikan sertifikat haji.

Aturan konyol ini menandakan bahwa pemerintah kolonial pada saat itu memang tak memiliki pengetahuan yang memadai tentang agama Islam dan kebiasaan penganutnya di Hindia Belanda. Fase kebutaan tentang Islam ini berakhir setelah hadirnya seorang figur orientalis yang kontroversial, yaitu Christian Snouck Hurgronje. Kehadiran Hurgronje bukan saja mengubah cara pandang pemerintah kolonial tentang Islam, tetapi juga mengubah pendekatan kolonialisme Belanda yang masih diwariskan hingga kini, yaitu pemisahan Islam dengan politik.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement