Jumat 24 Jan 2020 13:27 WIB

Masyarakat Diharap Ingatkan Pak Haji dan Bu Hajah yang Lalai

Jika tak ada mengingatkan, orang yang sudah berhaji harus intropeksi sendiri.

Rep: Syahruddin El Fikri/ Red: Muhammad Hafil
Masyarakat Diharap Ingatkan Pak Haji dan Bu Haji yang Lalai. Foto: Ibadah haji/ilustrasi
Masyarakat Diharap Ingatkan Pak Haji dan Bu Haji yang Lalai. Foto: Ibadah haji/ilustrasi

IHRAM.CO.ID,  MAKKAH -- Setiap jamaah haji maupun orang yang sudah pernah berhaji ingin meraih predikat haji mabrur (haji yang diterima oleh Allah SWT). Kemabruran itu tidak hanya selama menunaikan ibadah haji, melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari setelah kembali di Tanah Air.

''Kunci menjaga kemabruran haji terletak pada tawaashaw bil haqqi wa tawaashaw bish-shabri (saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran),'' jelas Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi), Prof Dr KH Ahmad Satori Ismal, kepada Republika beberapa waktu lalu. Menurut Ustaz Satori, semua pihak (masyarakat) punya peran yang cukup besar dalam mengingatkan jamaah haji.

Baca Juga

''Mereka itu manusia yang bisa lupa dan lalai, karena itu harus ada yang mau mengingatkannya. Baik ulama, ustaz, pemerintah, masyarakat, keluarga, tetangga maupun lainnya,'' jelasnya. Jika tidak ada yang mengingatkannya, kata Ustadz Satori, maka jamaah haji sendiri yang harus selalu mengingatnya. ''Pimpinan agama juga harus mau menasehatinya. Kalau tidak, buat apa peranannya sebagai ustaz, da'i dan ulama,'' tegasnya.

Menurut dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, dalam Alquran Surat Al-Mu'minun Ayat 1-2 dijelaskan, ''Sungguh sangat beruntung orang-orang yang beriman. Yaitu mereka yang senantiasa memelihara (menjaga) shalatnya.''

Dari ayat tersebut, paparnya, maka jamaah haji harus menunjukkan semangatnya dalam memelihara shalatnya. ''Jangan hanya melaksanakan shalat ketika haji saja, sementara sekembalinya ke Tanah Air, shalat ditinggalkan. Ini jelas hajinya tidak mabrur,'' paparnya.

Ustaz Satori menjelaskan, ciri haji mabrur itu tercermin dalam pelaksanaan haji. Pertama, memelihara akidah. Hal ini dicontohkan ketika seluruh jamaah haji mengucapkan talbiyah dan memuji kebesaran dan keagungan Allah SWT. Kedua, gemar melaksanakan shalat secara berjamaah. Selama di Tanah Suci, hampir tidak ada sedikitpun waktu shalat yang terlewatkan tanpa shalat jamaah.

Ketiga, memiliki akhlak yang baik. Seluruh jamaah haji, selama melaksanakan ibadah haji dilarang melakukan pertengkaran, berbuat zalim, fasiq dan melakukan persetubuhan walaupun terhadap isterinya sendiri. Laa rafatsa, wa laa fusuuqa, wala jidaala fi al-hajj.

Keempat, memiliki wawasan yang luas. Selama melaksanakan ibadah haji, jamaah haji banyak menemukan berbagai perbedaan dalam beribadah. Namun, mereka lapang dada menerima perbedaan itu. ''Mereka menjadi sangat toleran demi kedamaian,'' ungkapnya.

Kelima, mampu melawan hawa nafsu. Selama melaksanakan ibadah haji, jamaah mampu menjaga sikap dan nafsunya, demi menggapai haji mabrur. Mereka tidak mudah marah dan bisa mengekang hawa nafsunya selama haji dari keinginan untuk 'kumpul' bersama isterinya.

Keenam, menjadi manusia yang disiplin. Jamaah haji bisa melaksanakan aturan yang telah digariskan untuk ditaati dan jamaah tidak boleh melanggarnya. Misalnya, melaksanakan wukuf dan melontar jumrah pada waktunya. Ini, jelas Ustaz Satori, mencerminkan sikap disiplin jamaah dalam semua urusan.

Ketujuh, kreatif dalam menggunakan waktu. Sebab, jamaah haji bisa menggunakan waktu yang singkat secara maksimal dalam memperbanyak ibadah. Dan kedelapan, haji menumbuhkan sikap kepedulian dan kedermawanan. ''Apabila ada teman, saudara bahkan orang yang tidak dikenalnya sekalipun terjatuh dan membutuhkan pertolongan, mereka tak segan-segan untuk membantunya. Mereka benar-benar ingin menjadi orang yang manfaat bagi orang lain,'' jelasnya.

Jika kedelapan sikap di atas bisa dipahami secara benar, kata Ustadz Satori, niscaya jamaah haji akan sepenuhnya menjaga dan memelihara ibadah haji yang dilaksanakannya itu dengan baik. Karena itu, lanjutnya, peran kita semua untuk mengingatkan mereka jika lalai dan lupa. Ini disebabkan, perubahan situasi dan kondisi yang memungkinkan jamaah menjadi lupa.

Misalnya, karena pekerjaan, mengurus bisnis dan rumah tangga serta urusan duniawi lainnya. ''Tetapi, semuanya berpulang pada pribadi jamaahnya sendiri untuk selalu menjaga kemabruran itu,'' tegasnya. Di sinilah, menurutnya, pentingnya ada lembaga pengajian paska haji, dan bukan hanya sekadar temu kangen semata. Tujuannya adalah silaturahim dan saling mengingatkan.

 

Menurut Ustaz Satori, jamaah haji harus mengingatkan dirinya sendiri bahwa dirinya sudah berhaji. ''Artinya, kalau mereka lalai dalam melaksanakan shalat sementara saat di Tanah Suci begitu menggebu, harusnya mereka malu dan segera sadar untuk mengerjakannya,' paparnya.

Jika semua jamaah haji benar-benar menjaga kemabruran haji yang telah dilaksanakannya, kata Ustaz Satori, niscaya masyarakat dan bangsa ini, akan menjadi bangsa yang aman, tentram dan sejahtera. Hal itu sebagaimana yang dicita-citakan Alquran, yakni ''Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafuur'' (Negara yang aman dan tentram yang senantiasa mendapatkan ampunan dari Allah). 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement