Sabtu 04 Apr 2020 18:42 WIB
Maioboro

Kisah Malioboro dan Musik: Dari Ebiet Emha, Hingga WS Rendra

Kenangan aakan suasana Malioboro 70-an

Malioboro Disemprot Desinfektan. Relawan menyemprotkan desinfektan di Jalan Malioboro, Yogyakarta, Jumat (20/3).
Foto: Wihdan Hidayat/ Republika
Malioboro Disemprot Desinfektan. Relawan menyemprotkan desinfektan di Jalan Malioboro, Yogyakarta, Jumat (20/3).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Doddy Yudhista ex Vocalis Manfaces dan Pemimpin Umum Tabloid Music MuMu, dan pengurus The Habibibe Center

Malioboro identik dengan music. Saya yang zaman tahun 70an tinggal di Jogja, jika ingin mendengarkan lagu lagu baru ya ke Malioboro! Duduk duduk di depan toko Kimsin Kecil yang khusus menjual plat lagu-lagu baru.

Dari situlah banyak musisi musisi Yogya mengenal lagu lagu baru baik dari para penyanyi Indonesia maupun penyanyi atau group band manca negara. Dari Malioboro Kimsin- lah saya banyak mendengar lagu lagu The Rolling Stones dengan vocalist-nya Mick Jagger yang akhirnya menjiwai saya untuk menjadi 'Jagger' Yogyakarta.

Karir di musik diawali dengan bermain music dengan Band Elpijis yang selalu show setiap minggu malam di Cafe Wijayakusuma dengan MC bung Azwar AN dkk yg selalu membuat suasana 'ngebodors'. Cafe Wijayakusuma berada di Malioboro di Ujung Teteg Stasiun Tugu. Disanalah saya berekspresi menjadi bintang bak Mick Jagger mengalunkan Routte 66 sampai Anggie dan Satifacktion. Legenda lagu malam saya selalu menusuk tamu lewat lagu-lagu blues dan Koes Bersaudara.

Kala itu tahun 1968 - 1970 an, banyak artis Yogya tumbuh dari Malioboro khususnya cafe Wijayakusuma.Saya masih ingat beberapa nama seperti Band Capries, Mas Julianto yang bersuara ala Tom Jones, Anie Anggorowati yg bersuara tebal, Alex Suprapto yang bak Broery Pesolima, dan yang paling keren Angkie Laurent.

Kala itu kostum nyanyipun kita rancang sendiri, biasanya kalau sudah pernah kita pakai dengan merobah warnanya dengan celup wenter (pewarna). Make up pun kita sendiri yg nangani pake bedak Yayie atau talk mars. Sound sistem seadanya buatan Solo drum pun sebe umdipakai di panaskan dulu dengan lampu.

Lampu panggung pun seadanya memakai neon yang ditutup kertas warna. Itulah masa masa di Yogya th 1968 sampai tahun 1970an.

                    ****

Tahun 1970 saya meninggal kan Yogyakarta menetap di Jakarta. Malioboro pun akhirnya berkembang menjadi ruas jalan untuk seniman berekspresi. Saat saya berkunjung ke Yogya pun saya selalu menghabiskan waktu malam di Malioboro. Saya sering nongkrong bersama Sapto Raharjo, Anak Chrismell Camell yang drumernya Herry Gepeng itulah mengajari saya main drum perkussi. Chrismest Camell adalah Band Legend Yogya th 70 sampai tahun  80an.

Pertengahan tahun 1979 pun saya pernah bernyanyi diiringi Chrismest di Stadion Kridosono bersama Godbless Achmad Albar, yang kala itu pertunjukan di akhiri dengan hujan lebat. Saat itu saya banyak mengenal pengament malioboro yang canggih memainkan Rolling Stones, Deep Purple, Beatles, Bee Gess hingga Queens.

Saya di awal th 1976 pun mengenal Ebiet G Ade. Saya kagum padanya dengan musikalitas puisi-puisi lagunya.

Malioboro kini tinggal kenangan seperti musisi tua seperti. Kini saya sangat berharap kembalikan Malioboro sebagai jalan budaya yang melahirkan seniman. Ingat budayawan Emha Ainun Najib pun lahir dari Malioboro semasa dengan Ebiet G Ade dan penyair EH Kartanegara.

Bangkitkan Malioboro di era milenial ini...! Lahirkanlah kembali budayawan sekaliber Emha Ainun Najib dan musisi sekaliber Ebiet G Ade atau dramawan sekaliber Rendra dan uda Azwar AN..

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement