REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Gangguan berikutnya terjadi pada 968 M. Mengutip buku Ibn Kathir "Al-Bidaya wan-Nihayah," laporan itu menyebutkan bahwa haji pernah ditiadakan karena adanya penyakit yang menyebar di Makkah dan merenggut nyawa banyak jamaah. Pada saat yang sama, unta yang digunakan untuk mengangkut jamaah haji ke Makkah mati karena kelangkaan air.
"Banyak dari mereka yang berhasil mencapai Makkah dengan aman tidak bisa hidup lama setelah haji karena alasan yang sama," menurut laporan Darah.
Di antara mereka yang datang ke Makkah untuk menunaikan haji dalam jumlah yang signifikan adalah orang Mesir. Namun pada 1000 Masehi, mereka tidak mampu melakukan perjalanan karena tingginya biaya hidup di Saudi pada tahun itu.
Sekitar 29 tahun kemudian, tidak ada jamaah dari Timur atau Mesir yang datang untuk berhaji. Menurut laporan Darah, pada 1030 hanya beberapa jamaah asal Irak yang berhasil mencapai Makkah untuk melakukan haji. Sembilan tahun kemudian, Muslim dari Irak, Mesir, Asia Tengah dan Arab utara tidak dapat melakukan haji.
Kepala departemen sejarah di Universitas King Abdul Aziz, Dr. Emad Taher, mengatakan gangguan yang terjadi saat itu adalah kerusuhan politik dan ketegangan sektarian. Selanjutnya, pada 1099 tidak ada yang melakukan ibadah haji karena takut dan rasa tidak aman di seluruh dunia Muslim sebagai akibat dari perang.
Sekitar lima tahun sebelum Tentara Salib merebut Yerusalem pada 1099, para penguasa Muslim di wilayah Arab kurang bersatu. Akibatnya, tidak ada Muslim yang bisa mencapai Makkah untuk menunaikan haji.
Pada 1168, orang-orang Mesir terjebak dalam konfrontasi dengan Komandan Kurdi Asaduddin Shirkuh, yang ingin memperluas dinasti Zangid ke Mesir. Situasi saat itu secara alami tidak memungkinkan orang Mesir untuk melakukan haji.
Ibadah haji kembali terganggu pada abad ke-13. Laporan Darah menyebutkan, tidak ada orang dari luar wilayah Hijaz yang dapat melaksanakan haji antara tahun 1256 dan 1260.
Selanjutnya, penyelenggaraan haji terganggu akibat kampanye militer yang dilancarkan oleh pemimpin Perancis Napoleon Bonaparte di wilayah Ottoman di Mesir dan Suriah dari 1798 hingga 1801. Hal itu lantas membuat rute standar ke Makkah tidak aman bagi jamaah.