REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Agama, Selasa (2/6), akhirnya memutuskan untuk tidak memberangkatkan jamaah haji pada tahun 2020 ini. Hal tersebut lantaran belum adanya kepastian dari Arab Saudi soal jadi tidaknya haji karena terdampak pandemi covid-19.
Namun, bukan hanya kali ini pemerintah Indonesia, tidak memberangkatkan jamaah haji untuk warganya. Pada awal kemerdekaan, pemerintah Indonesia juga pernah beberapa kali tak mengirimkan jamaah haji.
Perjalanan penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia pascamerdeka tak lepas dari keberadaan Kementerian Agama. Meski, tidak semua Menteri Agama mengeluarkan kebijakan perhajian.
Dikutip dari buku Haji dari Masa ke Masa yang diterbitkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) pada 2012 disebutkan, Kemenag yang berdiri pada 3 Januari 1946, dipimpin kali pertama oleh H.M Rasjidi, BA. Dia memimpin tidak sampai setahun yaitu sejak 12 Maret 1946-2 Oktober 1946.
Berdasarkan Penetapan Pemerintah No.5/SD/1946, Kemenag mengambil sejumlah wewenang yang pada awalnya dipegang oleh kementerian lain. Misalnya, urusan perkawinan, kemasjidan, dan urusan haji yang diambil dari Kementerian Dalam Negeri.
Kemudian, urusan pendidikan agama di sekolah, diambil dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Khusus untuk haji, di awal perjalannya, Kemenag membentuk Biro Haji yang tugasnya memantau dan mendata haji.
Namun, pada masa rintisan tersebut, Kemenag belum benar-benar menyentuh masalah perhajian. Sebabnya, sejak 1940 Pemerintah Belanda yang masih menjajah melarang warga untuk pergi haji karena perang dunia kedua. Hal ini ditambah dengan keluarnya fatwa KH Hasyim Asyari pada 1945 yang mengeluarkan fatwa tidak wajib haji bagi umat Islam karena terkait masalah keamanan setelah perang dunia kedua usai.
Kemudian, H.M Rasjidi diganti oleh KH R Fathurrahman Kafrawi yang menjabat pada 1946-1947. Di bawah kepemimpinannya, Kemenag juga belum melahirkan kebijakan perhajian. Hal tersebut karena kondisi dalam negeri belum kondusif di awal kemerdekaan.
Kebijakan perhajian juga belum bisa dikeluarkan saat Menag dijabat oleh K Achmad Asjári (3 Juli-9 Oktober 1947) dan H Anwaruddin (9 Oktober-11 November 1947). Lagi-lagi, ini masih terkait adanya fatwa tidak wajib haji dari KH Hasyim Asyari.
Kebijakan perhajian baru mulai dipikirkan saat Kemenag dipimpin oleh KH Masjkur (1947-1950 dan 1953-1955). Perhajian dipikirkan karena terkait dengan diplomasi.
Pemerintah mengirim misi haji pertama ke Tanah Suci di bawah pimpinan KH Moh Adnan (Ulama Keraton Solo) dengan anggota: TM Islamil Banda, H Saleh Suaidi, dan TH Syamsir St R Ameh.
Misi haji ini bertugas menjelaskan situasi dalam negeri. Karena, pada saat yang sama Belanda juga mengirim misi haji ke Arab Saudi.
Ternyata, misi haji KH Moh Adnan mendapat sambutan hangat Raja Abdul Aziz dari Arab Saudi. Akhirnya, Arab Saudi mengakui kemerdekaan Indonesia.
Untuk diketahui, sejak perang dunia kedua dan disusul keluarnya Maklumat Kementerian Agama No 4 Tahun 1947 tentang Penghentian Ibadah Haji di Masa Perang, hingga saat itu belum ada umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji.
Sementara, misi haji Belanda di Arab Saudi ketika itu didukung oleh Konsul Belanda di Arab Sauri juga sebagai misi haji (misi dhiran). Namun, kedatangan misi haji Indonesia membuat misi haji Belanda tidak mendapat pintu untuk bertemu Raja Arab Saudi.
Inilah hal positif dari diplomasi haji tersebut. Situasi tersebut semakin mendekatkan negara-negara Arab dan dunia Islam kepada perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.
Secara politis, kenyataan itu menggugah simpati negara-negara Islam. Sehingga, baik de facto maupun de jure, mereka mengakui kedaulatan RI. Dalam kesempatan itu, misi haji Indonesia mengadakan jumpa pers yang menjelaskan perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan kolonial Belanda.