REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) uang jamaah haji telah dikembangkan sesuai syariat dan penuh kehati-hatian seperti diatur dalam peraturan perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Ketentuan tersebut menjadi dasar hukum BPKH investasikan uang jamaah haji yang disetor ke bank penerima setoran (BPS).
"Dana itu bisa ditempatkan di bank-bank yang ditunjuk oleh BPKH sebagai mitranya yang disebut BPS maupun diinvestasikan," kata anggota pelaksana BPKH Hurriyah El Islamy saat bincang virtual dengan tema "Nasib Calon Jamaah Haji Setelah Pembatalan Keberangkatan Haji di tahun 2020; hajinya batal, dananya bagaimana?, Kamis, (25/6) malam.
Hurriyah menuturkan, sesuai ketentuan dana haji itu bisa diinvestasikan langsung untuk investasi seperti halnya investasi emas, investasi surat berharga dan investasi lainnya. Tentunya investasi ini sangat minim resiko sehingga minim kemungkinan jamaah mengalami kerugian. "Untuk tahun ini BPKH motonya investasi langsung," katanya.
Tahun ini kata dia, BPKH sedang terus berusaha melakukan investasi di Saudi yang berkaitan dengan dunia perhajian. Saat ini BPKH sedang berusaha mendapat investasi hotel-hotel di Saudi sesuai harapan jamaah. "Jadi harapan jamaah kita ada hotel yang digunakan jamaah menggunakan BPKH semua itu sedang dalam proses," katanya.
Saat ini, kata Hurriyah, proses investasi itu terpaksa harus terhenti karena pandemi Covid-19 telah mengepung seluruh negara di dunia termasuk Arab Saudi sebagai pusat investasi BPKH. BPKH akan mulai kembali bekerja mencari peluang bisnis untuk investasikan dana haji. "Diharapkan investasi ini akan membuka peluang lebih luas untuk kami menjajaki investasi perhajian di Saudi," katanya.
Hurriyah memastikan, BPKH telah menerbitkan peraturan BPKH nomor 4 2018 tentang Bantuan Kedinasan di Lingkungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Di mana peraturan ini mengatur tentang BPS/BPIH dan akad wakalah. "Tentang akas wakalah ini sudah kami diskusi intensif dengan MUI, Muhammadiyah, NU di tahun 2017," katanya.
Jadi, kata dia, tentang akad wakalah itu merupakan hasil pembahasan semua semua pihak yang hasil pembahasannya telah diserahterimakan kepada BPKH di Muktamar MUI bulan Februari tahun 2018. Jadi akad wakalah bukan BPKH yang membuat sendiri akan tetapi hasil pembahasan semua pihak yang memiliki kompetensi tentang syariat Islam.
"Itu sudah mencerminkan dan masukan-masukan semua lembaga yang mewakili umat Islam di Indonesia dan merujuk pada semua ketentuan yang ada," katanya.
Tentang akad wakalah telah dipersoalkan oleh Komnas Haji Umrah Mustolih Siradj saat forum yang sama. Menurut Komnas Haji Umrah, BPKH belum memiliki prosentasi akad wakalah yang jelas. Sehingga bagi hasil investasi yang dikelola BPKH diragukan kehalalannya. "Inilah pentingnya transparansi dalam mengelola uang jamaah," katanya.
Menurut Mustolih, prosentasi bagi hasil ke jamaah haji tunggu dan jamaah haji yang berangkat pada tahun berjalan tidak berimbang. Di mana jamaah haji tunggu hanya diberikan keuntungan berijasar 80 ribu - 150 ribu per orang pertahun.
"Bandingkan dengan subsidi ke jemaah haji yang berangkat pada tahun berjalan Rp 35 juta per jemaah," katanya.
Padahal namanya akad wakalah itu manfaat dana kembali ke pemilik jamaah, bukan untuk subsidi. Untuk itu kenapa belakangan ini, jamaah was-was bahkan curiga soal penggunaan ratusan triliun dana haji digunakan untuk kepentingan lain. Penyebab utamanya karena sejak dibentuk 2017 silam sampai sekarang, BPKH sebagai pengelola dana tidak transparan.
"Kinerjanya pun sampai sekarang belum maksimal sebagaimana ekspektasi dan harapan publik yang menginginkan bisa mengelola dana haji sebagaimana tabung haji di Malaysia yang memberikan manfaat dan dampak sangat positif signifikan bagi jamaah," katanya.