REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Sebagai masjid yang disebut-sebut dibangun pertama kali di dunia, Masjidil Haram merupakan refleksi surga yang bernama Baitul Makmur. Oleh sebab itu, tak salah jika menyebut di dalam Masjidil Haram terdapat rumah Allah (Baitullah), yakni Ka’bah.
Mengutip buku Sejarah Islam Periode Klasik karangan Ahmad Choirul, dikatakan, perluasan Masjidil Haram ataupun Masjid Nabawi juga menjadi salah satu kebijakan yang diutamakan oleh Usman sejak awal kepemimpinannya.
Perluasan dan pembangunan Masjidil Haram itu juga dijelaskan di buku perekonomian Islam karangan Fakhry Zamzam. Menurutnya, pada saat perluasan dilakukan, ada sumber pemasukan Baitul Maal di masa kepemimpinan Usman bin Affan. Di antaranya adalah Zakat, Ghanimah, Jizyah, Kharaz dan Usyur.
Lebih lanjut, selain dimanfaatkan untuk perluasan Masjidil Haram, pengeluaran dana yang terkumpul itu juga ditujukan untuk hal lainnya. Dari mulai, belanja para tentara, gubernur, kas umum untuk haji dan kepentingan Masjid Nabawi.
Sementara itu, dalam buku Sejarah Ibadah karya Syahruddin El-Fikri, Masjidil Haram memang bisa dikatakan telah ada jauh sebelum manusia diciptakan Allah SWT. Adapun bentuknya, memang tidak sama seperti sekarang. Terlebih, dengan banyaknya pengembangan dan perluasan dari bangunan yang dilakukan oleh banyak pihak, termasuk Khadimul Haramain (Pelayan dua Tanah Suci) yakni raja Arab Saudi.
Disebutkan juga, Masjidil Haram yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS bersama putranya, Ismail, diawali dengan meninggikan fondasi Ka’bah yang terpendam sejak zaman Nabi Adam.
Setelah hal itu dilakukan, dalam perkembangannya, pembangunan fisik Masjidil Haram dilakukan lebih masif. Tujuannya, untuk memudahkan umat Islam yang ingin melaksanakan ibadah selama di Tanah Suci.
Tak berhenti di situ, setelah sekian kali pembangunan yang masif, Masjidil Haram juga diperluas. Utamanya dilakukan pada saat kepemimpinan Khalifah Usman bin Affan yang menggantikan Khalifah Umar bin Khattab pada akhir Dzulhijjah 23 H (November 644 M).
Namun masih di buku yang sama, perluasan, renovasi dan pembangunan juga nyatanya masih terus terjadi di banyak periode. Dan bukan hanya di masa kepemimpinan Usman.
Renovasi pertama, konon, dilakukan pada 692 Masehi. Sebelum renovasi itu, tembok terluar masjid ditinggikan terlebih dahulu. Hingga kemudian, langit-langitnya pun dibangun. Saat itu, disebut, area Masjidil Haram merupakan area kecil yang terbuka. Walaupun, Ka’bah telah berada di tengahnya.
Seiring waktu, pada akhir 700 M, pilar tua yang terbuat dari kayu di masjid, diganti dengan pilar marmer. Dan bagian di kedua sisinya dilebarkan bersamaan dengan dibangunnya menara.
Pada 1570 M, Masjidil Haram juga kembali direnovasi oleh arsitek pribadi Sultan Salim II yang membuat pergantian atap. Yang semula hanya datar, diganti dengan menambahkan kubah-kubah yang didekor dengan kaligrafi, selain ditambah pilar-pilar baru lainnya.
Seiring waktu berjalan, kini, Masjidil Haram memiliki bentuk shaf yang melingkar dan mengelilingi Ka’bah. Dari seluruh pembaruan dan perluasan, kini, masjid itu memiliki luas sekitar 656 ribu meter persegi.
Bahkan, diperkirakan, daya tampung Masjidil Haram bisa mencakup 730 ribu jamaah dalam satu kali waktu shalat berjamaah pada hari biasa. Jumlah itu bisa meningkat pada musim haji, menjadi lebih dari satu juta jamaah.
Tak hanya itu, sebagai bangunan suci umat Muslim, nyatanya ada beberapa keunikan lain di masjid tersebut, selain dari luasnya bangunan dan daya tampung besar. Di antaranya adalah, memiliki menara yang berjumlah tujuh buah dan berlantai tiga. Selain itu, bentuk bangunan yang melingkar kini juga menjadi keunggulan, terlebih, langsung menghadap Ka’bah.
Masjidil Haram juga memiliki empat pintu utama, selain dari 45 pintu biasa lainnya. Mengenai shalat, Masjid ini memiliki nilai yang lebih besar dibanding masjid lainnya. Sebab, dikatakan bahwa, shalat di masjid ini lebih utama dari shalat sebanyak 100 ribu kali di masjid lain.