REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis dan Traveller
Bangunan itu terlihat tua. Dua atau tiga lantai. Jendelanya berornamen khas yang disebut roshan. Lorong-lorong jalan sengaja dibuat sempit dan diapit bangunan tinggi di kanan-kirinya, dimaksudkan untuk melindungi siapa saja yang melintas dari sengatan matahari gurun di musim panas.
Saya de javu, rasanya seperti terlempar ke masa lalu. Ketika tempat ini masih diramaikan para kabilah dagang daån kafilah haji dari berbagai penjuru negeri. Ahmad Al-Santanawy dalam kitab “Dairah Al-Ma’arif Al-lslamiyah” menyebutkan, kota ini sudah digunakan sebagai kota pelabuhan pada masa Khalifah Utsman ibn Affan.
Pada masa itu jumlah penduduk Jeddah sekitar 5.000 jiwa. Posisinya yang berada antara India, Timur Tengah, dan Mediterania, menjadikannya sebagai rute perdagangan penting.
Pada abad ke-16, saat Islam berada dalam kekuasaan Daulah Utsmani, di kota ini pernah dibangun sebuah benteng untuk melindungi serangan Portugis.
Kota ini juga dijadikan pintu gerbang untuk menyambut para kafilah haji. Buya Hamka dalam bukunya “Kenang-kenangan Hidup” menuliskan dengan sangat romantis perpisahannya dengan Kulsum, janda dari Cianjur, teman satu rombongan yang menemani kedua orangtuanya berangkat haji.
Kulsum memanggil Buya dengan sebutan hormat, “Ajengan”. Buya melukiskan kegalauan hatinya, antara keinginannya meminang Kulsum, yang sudah pasti akan disambut hangat kedua orangtua Kulsum, atau menuntaskan dulu perjalanan haji yang dengan susah payah diupayakannya.
Akhirnya di kota pelabuhan ini mereka berpisah. Sapu tangan putih yang diberikan Kulsum menjadi penanda, ada rasa yang disimpan di hati, ada asa yang dinanti.
Maka pada hari kalla saya di kota tua Jeddah, “Di sinikah tempat perpisahan itu?” Guman saya sambil memandang kawasan kota tua itu, atau yang sekarang disebut Jeddah al-Balad (al-Balad).
Tak hanya di kawasan Al Balad, bangunan tua yang masih berdiri kokoh juga tersebar di berbagai kawasan, seperti Dar al-Nassif, Dar al-Jamjoom, Dar al-Baeshen, Dar al-Gable, dan Haret al-Mazloom. Beberapa bangunan masih terjaga kondisinya meski sudah berusia beberapa abad. Bahkan ada yang tingginya sampai 30 meter.
- Keterangan foto: Bangunan tua di kota Jeddah
*****
Sebenarnya, jauh sebelum itu, tempat ini -- Jeddah-- juga telah meninggalkan jejak sejarah yang sangat penting. Lagi-lagi tentang sebuah perpisahan. Ketika bumi masih serupa belukar. Ketika belum ada satu manusia pun yang menghuninya. Ibunda kita, Siti Hawa, perempuan mulia yang diciptakan pertama diturunkan dari surgaNya.
Kebingungan karena tak tahu harus melakukan apa, kakinya terus melangkah, hingga membawanya ke bukit cinta Jabal Rahmah. Allah pilihkan tempat itu untuk dipertemukan kembali dengan kekasih hati, Nabi Adam AS.
Nama Jeddah akhirnya tersemat di tempat itu. Berasal dari kata “Jaddah” atau “Juddah” yang secara bahasa berarti perempuan atau nenek.
Syahdan, ada sebuah makam yang sangat panjang yang berada di tengah kota. Berbatas tembok tinggi berbata merah, makam itu dipercaya sebagai kubur ibunda Hawa.
Tidak ada yang bisa memastikan kebenarannya. Hanya disebutkan kalau sahabat Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas pernah menyinggung tentang keberadaan makam tersebut, seperti penelitian yang ditulis sejarawan Hatoon al-Fassi.
Dan berulang kali melakukan perjalanan ke Jeddah, namun memori saya selalu berulang saat menghabiskan sore bersama Mama. Berjalan kaki dari hotel menuju kawasan perbelanjaan di Balad.
Saya tak akan melupakan senyum tulusnya yang selalu menemani setiap langkah saya. Hari ini, wanita mulia itu telah menghabiskan satu tahun lagi jatah usianya.
Semoga Allah curah-curahkan keberkahannya di sepanjang sisa usia.
Barakallahu fii umrik, Mam .