Senin 20 Jul 2020 04:33 WIB
haji

Haji di Mata Intelektual Berpendidikan Sekuler Kolonial

Penulisan Kisah haji di masa zaman kolonial

suasana haji yang difoto Snouck Hurgronje saat di Makkah.
Foto:

Ketika saya membandingkan narasi tulisan Wiranata Koesoema ini dengan tulisan Dahlan Abdoellah yg dimuat di DE TELEGRAAF, saya mendapat kesan tulisan Dahlan lebih berani dan terbuka mengeritik hal-hal yang terkait dengan orang Arab dan orang Belanda/Eropa sendiri.

Demikianlah umpamanya dia dengan terbuka mengeritik sifat penipu (sebagian) orang Arab, kehidupan budak dan ketertindasan kaum wanita Arab, sifat orang Arab yg suka menghina jemaah haji dari Nusantara/Tanah Jawi (misalnya sifat merendahkan bahwa jemaah haji Jawah adalah orang pagan yg suka makan ular, padahal itu belut kering), lingkungan yang kotor di Jeddah, Mekah, dan tempat-tempat lainnya, kesan adanya 'diskriminasi' dan perbedaan jumlah gaji yang jomplang antara staf pribumi dan rekan/Tuan Belanda mereka di Konsulat Belanda di Jeddah, dan lainnya.

Sementara dalam buku Wiranata Koesoema ini hal-hal seperti itu kurang menonjol dan yang lebih tampak ialah laporan pandangan mata yg kadang-kadang cukup rinci tentang tempat-tempat tertentu Tanah Arab dan kritikan-kritiikan terhadap sifat taklid jamaah haji sebangsanya yang kebanyakan orang desa dan tidak berpendidikan itu.

Perbedaan ini dapat dipahami: situasi di Belanda (negeri induk) tempat Dahlan sedang belajar dan bekerja lebih demokratis: tak ada pembedaan hak antara seorang student pribumi asal Hindia Belanda dg orang Belanda asli. Media Belanda tentu saja juga sangat demokratis. Hal itu tentu tidak dapat ditemukan dalam masyarakat kolonial di Hindia Belanda pada masa itu.

Banyak hal lain dalam narasi buku ini (dan teks-teks sejenis) yang sebenarnya menarik untuk dikaji lebih lanjut. Apalagi jika dibandingkan dengan teks-teks lain dalam korpus ini, baik oleh penulis yg berlatar belakang pendidikan sekuler maupun agama/pesantren, yg terus diproduksi sampai sekarang (lihat buku terbaru dari Khairul Jasmi 2018 dan Muhammad Subarkah 2020).

Kepustakaan

- Chambert-Loir, Henri. 2013. Naik haji di masa silam. Tahun 1900-1950. Jakarta: EFEO [etc.], Jilid 2.

- Dijk, Kees van. 1997. "Sarong, jubbah, and trousers: appearance as a means of distinction and discrimination", dalam: Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward appearance: dressing, state & society in Indonesia, hlm. 39-93. Leiden: KITLV Press.

- Jasmi, Khairul. 2018. Rindu Baitullah menikam ulu hati: perjalanan spiritual ke Tanah Suci. Jakarta: Penerbit Republika.

- Subarkah, Muhammad. 2020. Tawaf bersama rembulan. Jakarta: Penerbit Republika.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement