REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Pangeran Arab Saudi, Turki al-Faisal menegaskan tidak akan normalisasi hubungan dengan Israel sebelum Yerussalem benar-benar berdiri sebagai ibukota negara Palestina. Pernyataan Saudi ini untuk meluruskan dengan pernyataan pejabat Amerika Serikat yang menyebutkan Arab Saudi hampir membuka hubungan formal dengan pemerintah Israel.
Dalam kolom yang diterbitkan di Asharq Al-Awsat pada Jumat (21/8), Pangeran Saudi memuji keputusan UEA yang melakukan kesepakatan diplomatik dengan Israel. Menurutnya, hal tersebut adalah hak negara mereka.
"Uni Emirat Arab mengejutkan kami dengan menyetujui kesepakatan dengan Amerika Serikat dan Israel. Abu Dhabi memiliki hak membuat keputusan berdaulat yang dipandang bermanfaat bagi rakyatnya," tulis Pangeran Turki, dilansir dari Middle East Eye, Sabtu (22/8).
Pernyataannya datang sehari setelah diplomat senior Emirat, Anwar Gargash mengatakan UEA tidak berkonsultasi dengan sekutunya sebelum kesepakatan itu dipublikasikan oleh Gedung Putih. "Kami tidak membahas kesepakatan ini sebelum pengumuman dengan salah satu teman kami, tidak satupun dari mereka, tidak ada negara Arab, tidak ada, karena kami jelas berpikir bahwa ini akan benar-benar membahayakan kesepakatan," kata Gargash kepada Dewan Atlantik.
Dalam kolomnya, ia mengecam Turki, Iran, Qatar dan Otoritas Palestina karena menolak kesepakatan UEA-Israel. Meskipun tampak mendukung perjanjian tersebut, kerajaan Saudi mengatakan negara-negara Arab harus menuntut 'harga tinggi' untuk normalisasi hubungan dengan Israel.
"Kerajaan Arab Saudi telah menetapkan harga untuk mencapai perdamaian antara Israel dan Arab, yakni pembentukan negara Palestina yang berdaulat dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya," tulisnya.
Pangeran Turki al-Faisal sebelumnya menjabat sebagai kepala mata-mata kerajaan dan duta besar untuk Washington. Dia adalah putra Raja Faisal, yang dibunuh pada 1975, dan saudara dari almarhum Saud al-Faisal, menteri luar negeri yang memimpin diplomasi Arab Saudi selama 40 tahun.