REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu rukun dalam ibadah umroh dan haji ialah niat yang mesti dilakukan kala di mikat (miqot). Menurut Ustaz Abdul Somad (UAS) dalam bukunya, 66 Tanya Jawab Umrah, mikat secara kebahasaan berarti 'batas.' Adapun secara istilah, mikat terbagi dua yakni mikat zamani dan mikat makani.
Mikat zamani berarti batas waktu. Dalam pelaksanaan umrah, mikat zamani berlaku di sepanjang tahun. Untuk haji, waktunya bermula pada bulan Syawal sampai terbit fajar tanggal 10 Dzulhijjah, yaitu ketika ibadah haji dilaksanakan.
Mikat makani berarti batas tempat. Lokasi mikat tersebut tergantung dari mana jamaah berasal. Umumnya, lanjut UAS, ada lima tempat yang telah ditetapkan sebagai mikat, sesuai arah kedatangan.
Mikat bagi penduduk Madinah ada di Masjid Dzulhulaifah atau Bi'r Ali, sekira 450 km dari Makkah.
Untuk warga Syam (Suriah dan sekitarnya), Mesir, Maroko, dan negeri-negeri yang searah mikatnya di Juhfah atau Rabigh, 183 km dari Makkah.
Untuk penduduk Irak dan negeri-negeri belahan timur, mikatnya di Dzatu 'Irq, 94 km dari Makkah. Sementara itu, untuk penduduk Yaman, Tihamah, India, dan negeri-negeri yang searah mikatnya di Yalamlam.
Jamaah Indonesia
Bagaimana dengan jamaah haji atau umrah asal Indonesia? UAS menerangkan, setidaknya ada tiga opsi.
Pertama, jamaah umrah dari negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, bila melakukan perjalanan darat, maka dihitung mikatnya searah dengan Yaman, yakni di Yalamlam.
Boleh juga terjadi, bila jamaah tersebut datang dengan pesawat terbang. Ketika pesawat berada di atas Yalamlam, maka itulah mikatnya.
Kedua, mikatnya boleh di tempat pesawat mendarat. Ini merujuk pada fatwa Syekh Musthafa az-Zarqa, "Orang yang datang dengan pesawat terbang tidak wajib melakukan ihram kecuali setelah pesawat mendarat di daerah yang akan mereka tempuh dengan jalur darat.
Bandara internasional Jeddah terletak dalam mikat makani. Dari situlah mereka (jamaah) harus memulai ihram karena mereka disamakan dengan penduduk Jeddah. Ketentuan mikat makani yang sudah ada nash-nya tak berlaku bagi orang yang naik pesawat."
Opsi ketiga, berdasarkan surat keputusan Direktorat Jenderal Bina Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama RI No.D/Hj.00/2246/1996. Surat itu sudah ditanggapi Majelis Ulama Indonesia (MUI) tertanggal 4 Mei 1996.
Isinya, antara lain, menegaskan bahwa mikat bagi jamaah asal Indonesia termasuk masalah ijtihad karena mereka tidak melalui salah satu mikat makani yang telah ditentukan Nabi Muhammad SAW.
Selain itu, mikat makani bagi jamaah asal Indonesia adalah di Bandara Jeddah (King Abdul Aziz) bagi yang langsung ke Makkah, dan di Bi'r Ali bagi yang terlebih dahulu ke Madinah.