REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Omnibus Law terus menjadi perbincangan hangat, bukan hanya di kalangan pekerja dan pengamat ekonomi, namun juga pegiat halal, salah satunya Founder sekaligus CEO Halal Corner, Aisha Maharani. Aisha menyebutkan beberapa kejanggalan yang ditemukan dari sekian banyak pasal yang terkandung dalam UU Cipta Kerja, salah satunya adalah Self Declare yang tertera dalam pasal 4A:
1. Untuk Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 didasarkan atas pernyataan pelaku usaha Mikro dan Kecil.
2. Pernyataan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH.
Konsultan Halal Staf LPPOM MUI sejak 1999 hingga 2012 ini mempertanyakan keajegan peraturan yang mengizinkan para pengusaha kecil untuk mendeklarasikan sendiri produknya sebagai produk halal ini. Menurutnya, ketidakjelasan peraturan justru akan semakin membingungkan masyarakat sekaligus mereduksi fungsi proses sertifikasi halal itu sendiri.
"Self declare itu kalau memang benar akan dilaksanakan, teknisnya seperti apa? siapa penjaminnya? bagaimana sistem pengawasannya? siapa yang mengawasi? berapa lama masa berlaku self declare itu? nah ini yang jadi pertanyaan. Apa para perumus Omnibus Law itu bisa merincikannya dengan jelas?" ujar Aisha saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (8/10).
Menurut Aisha, keberadaan UU Cipta Kerja justru memungkinkan peluang banyaknya produsen melakukan deklarasi mandiri bahwa produknya halal tanpa melakukan sertifikasi melalui lembaga seperti MUI atau auditor halal lainnya. Peraturan baru ini, kata dia, juga bertentangan dengan peraturan sebelumnya yang tertera dalam UU Jaminan Produk Halal.
"Pemerintah sebelumnya mengatur bahwa pengurusan sertifikasi halal itu wajib, tapi dengan adanya self declare, tentu ini bertentangan dengan kebijakan sebelumnya. Karena nantinya orang tidak akan mengurus sertifikasi halal, tapi justru melakukan self declare, yang tentunya rentan manipulasi dan risywah (suap)," jelasnya.
Dia juga menjelaskan, pendekatan kehalalan produk bukan hanya dikaji dengan ilmu fikih saja melalui deklarasi mandiri kehalalan. Tetapi, kehalalan produk harus menggunakan pendekatan teknologi pangan yang kini sudah tergolong canggih dalam mengecek kandungan hasil produksi.
"Saya tidak tahu siapa yang mengusulkan self declare ini tapi kayaknya yang bersangkutan tidak mengerti lapangan, dan tidak mengerti bagaimana proses sertifikasi halal," ujarnya.
"Padahal menurut saya, prosedur sertifikasi halal sebelumnya, bahkan sebelum ada BPJPH, sudah bagus dan produsen sudah nyaman dengan regulasinya. Tapi sekarang, di saat UU JPH belum sempurna, BPJPH juga belum settle, ditambah dengan kehadiran UU Ciptaker ini. Jadi semakin ruwet!" tambahnya.
Kehadiran UU Ciptaker dirasa tidak begitu diperlukan, terlebih dalam regulasi produk halal, mengingat masih adanya UU Jaminan Produk Halal, yang hingga saat ini saja masih perlu dikoreksi, kata Aisha. Ketergesa-gesaan pemerintah dalam mengesahkan UU Ciptaker yang belum 'matang' ini juga sangat beresiko, sambungnya.
"UU Ciptaker ini sebenarnya tidak harus ada, karena UU Jaminan Produk Halal saja masih banyak yang perlu dikoreksi dan belum 100 persen berjalan, lalu BPJPH juga baru satu tahun disahkan, dimana pengelolaan teknis pendaftaran yang basic saja belum sempurna, ini malah ditambah dengan UU lain. apa tidak pusing!?" tegasnya.
"Jadi bukannya meningkatnya kualitas sertifikasi halal itu sendiri, tapi justru memberikan celah terjadinya hal yang tidak diharapkan selama proses sertifikasi halal, dengan alibi percepatan prosedur. Yang dikhawatirkan, orang-orang akan menjadi antipati dan merendahkan fungsi sertifikat halal," ujar Aisha.