REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Saat musim haji tiba, kita kerap mendengar berita jamaah Aceh ketika di Makkah, mendapatkan uang wakaf. Uangnya bisa mencapai 1.200 riyal per orang jamaah atau setara Rp 5 juta.
Berdasarkan catatan Republika pada 2019 lalu, menurut petugas Baitul Asyi, Jamaluddin, pengeluaran uang wakaf ini harus berdasarkan Mahkamah Syariah Arab Saudi. Untuk pengeluaran itu, Mahkamah Syariah harus mendapat tanda tangan dari dua orang nazir atau pengelola wakaf Baitul Asyi: Syekh Abdullatif Baltu dan Syekh Abdullah Asyi.
Untuk pembagian di hari kedua ini, yang membawa uang dari Mahkamah Syariah adalah Syekh Abdullatif Baltu. Dia pun memberikan beberapa syarat agar jamaah bisa mengambil uangnya.
Pertama, pengambilan uang wakaf tidak boleh diwakilkan kecuali yang sedang dirawat di rumah sakit. Kemudian, pengambil uang wakaf harus memiliki kartu yang ditandatangani oleh gubernur Aceh.
"Adapun nilainya, yaitu masing-masing jamaah menerima 1.200 riyal per orang. Selain uang, jamaah juga diberikan satu buah Alquran," kata Jamaluddin kepada Republika waktu itu.
Adapun total uang yang diberikan secara keseluruhan untuk 4.688 orang itu (Total jamaah Aceh pada musim haji 2019) adalah 6 juta riyal atau jika dirupiahkan Rp 21 miliar. Pembagian itu dilakukan secara bertahap tetapi selama jamaah asal Aceh berada di Makkah.
Sementara, Syekh Abdullatif Baltu mengatakan, uang yang sudah diberikan telah menjadi hak bagi jamaah Aceh itu sendiri. Mereka berhak memakai uang itu untuk kepentingan bekal selama haji seperti pembayaran dam.
"Dan, bisa juga uang itu dibawa pulang untuk keluarganya," kata Syekh Baltu.
Syekh Baltu mengatakan, uang wakaf tersebut akan tetap dibagikan kepada jamaah haji asal Aceh setiap tahunnya. "Insya Allah selama dunia ini ada, jamaah haji Aceh akan mendapatkan manfaat wakaf ini," kata Syekh Baltu.
Sejarah
Sejarah wakaf untuk jamaah Aceh ini dimulai sejak 1809 M. Menurut pakar Filologi, Prof Oman Fathurahman, wakaf ini tak lepas dari kedermawanan seorang ulama asal Aceh yang lama tinggal di Makkah. Yaitu, Habib Abdurrahman bin Alwi Al Habsyi atau yang lebih dikenal dengan nama Habib Bugak.
Oman yang merupakan seorang pakar filologi (manuskrip) menyebut, ada 100 manuskrip yang menulis tentang sejarah wakaf Aceh di Makkah tersebut. Dalam manuskrip diketahui bahwa wakaf itu tidak boleh digadaikan, diperjualbelikan, dipinjamkan, dan diberikan begitu saja kepada orang.
"Intinya, wakaf ini hanya untuk orang Aceh," kata Oman yang sekarang menjadi Juru Bicara Kementerian Agama itu.
Dari situ diketahui, Habib Bugak membeli rumah di antara bukit Marwah dan Masjid Al Haram. Dan, kemudian mewakafkannya untuk orang Aceh yang menunaikan ibadah haji. Di mana, pada saat itu orang Aceh yang naik haji bisa menempati rumah tersebut.
Sementara, Jalaluddin, petugas Baitul Asyi mengatakan, seiring berjalannya waktu, Masjid Al Haram mengalami perluasan. Sehingga, hasil dari penggusuran rumah tersebut dibelikan dan dijadikan wakaf produktif.
Di antaranya, yaitu membangun lima unit hotel di Makkah. Hingga saat ini, ada lima hotel yang dikelola oleh Baitul Asyi. Yaitu, dua hotel di ring satu Masjid Al Haram, satu hotel di kawasan Syaukiah, dan dua hotel di kawasan Aziziah. Namun, hotel itu tidak diperuntukkan bagi jamaah haji asal Indonesia. Tetapi, keuntungan hotel tersebut salah satunya dibagikan dalam bentuk uang kepada orang Aceh yang naik haji setiap tahunnya.