Jumat 16 Oct 2020 23:33 WIB

Masjid Jadi Pusat Informasi bagi Warga Korsel Belajar Islam

Muslim di Korsel hanya berjumlah sekitar 40 ribu orang.

Rep: Nora Azizah/Santi Sopia/ Red: Muhammad Fakhruddin
Masjid Jadi Pusat Informasi bagi Warga Korsel Belajar Islam (ilustrasi).
Foto: Google
Masjid Jadi Pusat Informasi bagi Warga Korsel Belajar Islam (ilustrasi).

IHRAM.CO.ID,SEOUL -- Warga negara Indonesia (WNI) harus berjalan jauh untuk menemukan masjid atau tempat yang bisa digunakan untuk shalat di Korea Selatan (Korsel). Kondisi inilah yang melatarbelakangi keinginan WNI yang berjumlah lebih dari 35 ribu orang di Korsel untuk mendirikan masjid.

"Tujuannya agar tetap bisa menunaikan kewajiban sebagai Muslim serta menjadi pusat peradaban islam selama berada di Korsel," kata Dai Ambassador Cordofa Korsel, Alnofriadi.

Ide pendirian masjid bermula dari pertemuan sesama WNI. Mereka bertemu di pabrik-pabrik saat istirahat. Obrolan yang awalnya hanya antara beberapa orang terus menyebar luas. Alhasil, terbentuk panitia kecil yang bertugas menghimpun dana dan penyediaan ruang ibadah. Saat ini sudah ada 59 masjid yang diinisiasi dan dikelola oleh WNI di seluruh kota di Korsel. Lima di antaranya sudah permanen, sedangkan 54 masjid lainnya masih berupa flat yang disewa.

Masjid-masjid yang permanen berwenang menunjuk imam tetap dari dalam atau luar Korea yang pengurusan visanya diterbitkan dengan sponsor dari Korea Muslim Federation (KMF). Masjid juga menjadi pusat informasi bagi warga Korsel yang ingin belajar Islam. Masjid-masjid di Korsel menyediakan bahan bacaan dan audio yang diberikan gratis bagi mereka yang ingin mempelajari Islam.

Perkembangan Islam di Korea memang tidak mudah. Muslim di Korsel hanya berjumlah sekitar 40 ribu orang, ditambah 100 ribu Muslim pendatang. Jumlah itu terlihat sangat kecil jika dibandingkan jumlah penduduk Korsel yang mencapai 40 juta jiwa.

WNI yang bekerja di Korsel umumnya tinggal di mes yang disediakan pabrik. Lokasinya pun tak jauh dari sana. Mereka tidak menyewa rumah sendiri. Selama di Korsel, mereka tidak membawa keluarga karena hanya mendapat visa tunggal bagi pekerja. Keberadaan masjid menjadi angin surga bagi mereka sebab di sana mereka bisa bertemu sesama WNI dan nyaman beribadah.

Layaknya di Korsel, Jepang bukan negara ternyaman untuk mempelajari Islam. Meski begitu, negara berjuluk Negeri Matahari Itu tetap bersahabat untuk menyantri. Itulah yang dirasakan perwakilan Dai Ambassador Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofra) untuk Jepang, Ustaz Syarif Hade. "Tahun ini saya kembali belajar dengan para mahasiswa hebat," kata Syarif.

Syarif berkesempatan belajar bersama para mahasiswa penerima beasiswa, baik dari pemerintah Indonesia maupun Jepang. Rata-rata mereka duduk di kursi universitas terkemuka Jepang untuk gelar sarjana hingga doktor. Bahkan tak sedikit yang sudah menjadi dosen dan asisten profesor di kampus.

Tahun ini berbeda dengan sebelumnya. Syarif sebelumnya belajar bersama para buruh migran asal Indonesia di Macau dan Hong Kong. Menurut dia, dari segi emosional, keduanya memberikan pengalaman berbeda. Saat di Macau dan Hong Kong, Syarif merasakan dan melihat langsung kendala serta tantangan menjadi Muslim di sana. "Banyak pelajaran saya petik dari perjalanan tahun lalu," kata Syarif.

Lain hal ketika berada di Jepang. Syarif lebih melihat negara dengan sebuah kemajuan bangsa, kedisiplinan, kebersihan, kenyamanan, kepedulian, keamanan, dan keramahan penduduk. Dia juga bisa berinteraksi dengan komunitas Muslim dari banyak negara di Jepang. Terasa kontras dengan tahun lalu, tetapi Syarif tak ke hilangan kesempatan untuk memetik pelajaran dari sana.

Bagi Syarif, yang tak bisa terlupakan, yaitu berkesempatan menyaksikan umat Islam tetap semangat menjalankan kewajibannya dengan segala keterbatasan. Dia juga melihat langsung beragam praktik menjadi Muslim yang sebelumnya hanya bisa dibaca melalui literatur. Dia bersyukur bisa menikmati Islam bersama Muslim hebat di negeri orang. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement