IHRAM.CO.ID,JAKARTA -- Aktivitas sewa menyewa lumrah dilakukan oleh masyarakat. Guna memenuhi kebutuhan mereka, ada kalanya mereka memerlukan pihak lain melalui akad sewa (ijarah), yaitu akad pemindahan hak guna manfaat atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah) tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan itu sendiri.
Tak hanya berkenaan dengan manfaat barang, tetapi menyangkut pengambilan jasa dari seseorang atau perusahaan untuk mengerjakan pekerjaan tertentu. Mengingat tingginya upah, dalam kasus tertentu, seseorang melibatkan lembaga keuangan syariah (LKS) untuk membiayai ijarah tersebut? Apakah praktik pembiayaan tersebut diperbolehkan menurut agama?
Dalam Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) disebutkan bahwa pembiayaan itu boleh dilakukan dengan ketentuan dan syarat berlaku. Fatwa ini merujuk sejumlah dalil, antara lain QS al-Qashash ayat 26: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, "Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita) karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya."
Ayat lain juga menegaskan tentang bolehnya praktik sewa menyewa itu: “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS al- Baqarah [2]: 233)
Hadis riwayat Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri juga menjadi landasan fatwa ini. Rasulullah bersabda, “Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukan lah upahnya.” Selain hadis ini, riwayat lain juga menyebutkan legalitas pembiayaan itu seperti hadis Abu Dawud dari Sa’ad bin Abi Waqqash.
Soal rukun dan syarat, ijarah yang dimaksud di sini, yaitu pertama, harus terdiri dari ijab kabul, baik secara verbal maupun dalam bentuk lain. Kedua, terdapat pihak-pihak yang berakad, baik dari kubu penyewa maupun pemberi sewa atau jasa. Unsur ketiga adalah keberadaan manfaat barang dan sewa atau manfaat jasa dan upah.
Terkait ketentuan objek ijarah, fatwa ini menerangkan beberapa ketentuan penting, di antaranya bahwa objek tersebut adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa. Selanjutnya, manfaat atau jasa tersebut mesti termasuk kategori yang halal. Besaran dan takarannya pun harus dikenali secara spesifik. Hal ini untuk menghindari ketidakjelasan yang bisa memicu sengketa, misalnya jangka waktu atau identifikasi fisik.
Demikan pula dengan nominal upah. Seberapa besar upah tersebut harus disepakati dalam akad dan wajib dibayar oleh penyewa atau lembaga yang memberikan pembiayaan. Namun, kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai syariat.
Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam ijarah. Kelenturan dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat, dan jarak.
Kewajiban LKS dan nasabah
Dalam transaksi antara penyewa dan lembaga keuangan yang telah ia tunjuk untuk pembiayaan, berlaku beberapa kewajiban, baik dari kubu LKS maupun pihak penyewa. Kewajiban bagi LKS terhadap nasabah ialah menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan, me nanggung biaya pemeliharaan ba rang, dan menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
Sedangkan, kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa kepada LKS ialah membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab menjaga keutuhan barang. Selain itu, juga menggunakannya sesuai akad (kontrak) dan menanggung bia ya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).
Namun, ia tidak bertanggung ja wab atas kerusakan akibat barang ru sak karena bukan disebabkan atas pe langgaran dari penggunaan yang di bolehkan atau kelalaian pihak pe nerima manfaat dalam menjaganya.