REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Legislasi DPR RI, Bukhori Yusuf, mengatakan sejumlah asosiasi penyelenggara ibadah haji dan umrah (PIHU) mengeluhkan pidana kurungan hingga 10 tahun atau denda paling banyak Rp5 miliar dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Aturan itu termuat dalam Bab III Bagian Empat, Paragraf 14 tentang Keagamaan pasal 125 dan 126.
Alasannya, Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umroh (PPIU) dapat juga dikenakan sanksi administratif sekaligus oleh aparat penegak hukum sesuai bunyi pasal 118A dan pasal 119A. Dengan demikian, sanksi yang diterima nanti pun berlapis-lapis.
"Berat sekali konsekuensinya (bagi PIHK dan PPIU) bila kedua sanksi dikenakan sekaligus, yakni denda administratif bahkan ditambah hukuman penjara maksimal 10 tahun,” kata Bukhori dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (30/10).
Pasal 118A dan 119A UU itu mencakup sanksi administratif dari yang ringan yaitu berupa denda administratif sampai yang paling berat yakni pencabutan izin usaha. Selain itu, PIHU juga berkewajiban mengembalikan biaya yang sudah disetor oleh jemaah kepada PPIU dan/atau PIHK serta kerugian bukan materiil lainnya.
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menjelaskan pasal-pasal 118A dan 119A sesungguhnya memiliki maksud yang baik, yakni memberikan proteksi kepada jemaah dari praktik penyimpangan pihak penyelenggara ibadah haji/umrah yang merugikan jemaah. Hal ini sebagaimana pernah terjadi sebelumnya pada kasus penipuan biro haji dan umrah First Travel.
"Pembentukan pasal tersebut dimaksudkan untuk memberlakukan sanksi pidana untuk menjerat PPIU/PIHK nakal, akan tetapi sangat disayangkan rumusan pasalnya menjadi ambigu karena pasal rujukannya adalah 118A dan 119A yang berisi tindakan yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, kepulangan, dan keterlantaran,” tukasnya.
Namun yang bermasalah ialah yang tercantum dalam pasal selanjutnya, yakni pasal 125 dan pasal 126. "Disebutkan bahwa PIHK maupun PPIU yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 118A dan 119A juga bisa dikenakan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 10 miliar," kata Bukhori.
Ia mengatakan konsekuensi dari tumpang tindih pasal terkait sanksi itu akan membuka celah bagi terjadinya multitafsir atau pasal karet karena penegak hukum dapat mengenakan sanksi pidana saja atau sanksi administratif dan sanksi pidana sekaligus. Dari segi etika hukum, Bukhori menganggap pemberlakuan sanksi berlapis itu pun tidak pada tempatnya alias tidak adil karena melampaui batas kewajaran.
Hal itu karena kedua sanksi tersebut menjerat perusahaan atau lembaga sekaligus pemiliknya di waktu yang sangat bersamaan. Padahal, pelanggaran pada pasal tersebut tidak termasuk yang pasti menimbulkan kematian.
Ia pun menduga munculnya ambiguitas terkait pengenaan sanksi berlapis untuk satu perbuatan dalam UU itu karena ketergesa-gesaan selama proses penyusunan UU Cipta Kerja. Bukhori mengklaim pembahasannya saat itu dilakukan oleh pemerintah dan DPR RI secara terpisah dari PKS, khususnya terkait sanksi pidana pada pasal 125 dan 126 UU Nomor 8/2019 dengan menambahkan batas waktu lima hari.
“Pada mulanya, Fraksi PKS mencermati pasal 68 merupakan concern utama kami, yakni terkait syarat PPIU yang harus kami pastikan adalah WNI dan muslim sebagaimana dalam UU No. 8/2019. Sebab sebelumnya, dalam draf RUU versi 1029 halaman, pemerintah secara gegabah menghapuskan syarat muslim dan WNI tersebut dan menggantinya dengan klausul persyaratan yang ditetapkan Pemerintah Pusat,” kata Bukhori.
Alhasil, Fraksi PKS bersikeras untuk mempertahankan syarat semula hingga akhirnya berhasil terakomodir kendati harus melalui proses pembahasan yang alot di Baleg. “Sebagai konsekuensi, di UU Cipta Kerja yang terbaru kemudian memunculkan pasal tambahan, yakni pasal 118A dan 119A sebagai pasal sisipan. Kedua pasal yang mengatur pengenaan sanksi administratif ini ternyata memiliki kaitan dengan pasal 125 dan 126 terkait sanksi pidana sehingga memunculkan potensi sanksi berlapis,” ujarnya.