IHRAM.CO.ID, PARIS -- Latifa ibn Ziaten kehilangan putranya Imad (28 tahun) pada Maret 2012 lalu di wilayah Toulouse di barat daya Prancis. Putranya yang merupakan seorang penerjun payung dan tentara Prancis, dibunuh oleh seorang teroris, Mohammed Merah (24).
Kedua pemuda itu tidak mengenal satu sama lain. Mereka sepakat untuk bertemu setelah Merah memasang iklan di internet untuk menjual skuter. Ternyata iklan itu, hanyalah sebuah jebakan. Merah tahu bahwa Imad adalah seorang tentara, karenanya ia membunuh Imad dengan senjata api.
Latifa ibn Ziaten sangat terpukul. Teroris itu telah merenggut Imad dari darinya. Meski diliputi rasa sakit, dia menolak menyerah dan mengambil tindakan positif. Dia memutuskan untuk bertindak melawan radikalisasi.
Yang membuatnya tidak menyerah pada keadaan dan kebencian adalah cinta tanpa syarat untuk putranya. Ziaten mengatakan kepada Arab News bahwa dia memiliki lima anak, "Tetapi dengan kematian Imad, saya kehilangan separuh dari saya," kata Ziaten dilansir dari Arab News, Rabu (2/12).
Jaksa Toulouse kemudian memberitahunya bahwa putranya meninggal saat berdiri, menolak perintah Merah untuk berlutut. Sejak itu, Ibn Ziaten memutuskan untuk mencari pelaku pembunuh putranya.
Belum juga Ibn Ziaten bertemu dengan pelaku pembunuhan putranya, Merah kembali melancarkan aksinya. Enam orang kembali menjadi sasaran serangan Merah yang kemudian ditembak mati oleh pasukan khusus.
Ibn Ziaten kemudian pergi ke distrik tempat Merah dibesarkan, di pinggiran kota Toulouse, untuk bertemu orang-orang muda di sana. Ibn Ziaten terperangah setelah melihat Merah dianggap sebagai pahlawan di desanya atas serangkaian pembunuhan tersebut.
"Mereka anggap (Merah) sebagai pahlawan yang membuat Prancis bertekuk lutut," kata Ibn Ziaten.
Komentar mengejutkan mereka membuatnya menyadari keseriusan situasinya. Jadi, dalam sebuah pesan kepada orang muda, dia berkata, “Kamu adalah penyebab penderitaan saya, tapi saya ingin mengulurkan tangan. Aku ingin membantumu," ibn Ziaten.
Sayang, kata-katanya hanya diterima dengan sarkasme. Salah satu anak muda berkata, "Kami sudah mendengar ini berkali-kali dan kami tidak percaya lagi."
Dia menunjukkan bahwa Islam tidak mewakili apa yang Merah lakukan, dan bahwa Prancis adalah negara kebebasan dan hak, bukan negara kebencian. Pemuda itu menjawab dan berkata: “Lihat di mana kami tinggal, Nyonya, lihat sekeliling Anda. Kami seperti monyet, seperti makhluk yang dikurung, dan kami mencoba membalas dendam pada masyarakat,"
Ibn Ziaten menambahkan: “Tapi Anda tidak bisa menyalahkan ini pada masyarakat. Jika Anda membutuhkan bantuan, Anda harus memprotes atau menulis. Anda harus meminta bantuan, tetapi tidak membunuh. ”
“Tidak ada yang mendengarkan kami, wartawan datang dan memfilmkan kami seolah-olah kami monyet. Kami tersesat, Nyonya," kata pemuda itu lagi.
Ibn Ziaten bersumpah untuk tidak menyerah dan melakukan segala daya untuk mencegah orang-orang muda ini jatuh ke dalam kekerasan dan untuk menghindari munculnya Merah baru di antara mereka dan menyebabkan lebih banyak kematian.
Sejak itu, ibn Ziaten telah mencurahkan hidupnya untuk membawa pesan toleransi, persaudaraan, dan keberanian. Berharap untuk menetralkan ujaran kebencian yang disaring di kalangan anak muda untuk mencoba dan mengubah mereka melawan masyarakat dan menjadi mesin pembunuh.
"Ada banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan dengan kaum muda dari pinggiran kota, di Prancis, tetapi juga di Eropa," katanya.
Ibn Ziaten berujar, saat berbicara dengan anak-anak muda tentang cinta, beberapa dari mereka mulai menangis. Ini juga terjadi ketika dirinya mulai berbicara tentang kehadiran orang tua mereka. Menurut Ibn Ziaten, banyak anak-anak yang dibiarkan tumbuh sendiri tanpa orangtua di sisi mereka. Mereka juga jarang mengobrol dengan orangtua mereka.
Menurutnya, sekolah, keluarga, dan lingkaran sosial perlu memberikan dukungan bersama bagi kaum muda. Terakhir, Ibn Ziaten mengaku masih merasa kesal terhadap ibu Merah, yang ditemuinya selama persidangan putra keduanya Abdelkader, yang dihukum karena terlibat dalam kejahatan kakaknya.
“Saya tidak bisa memaafkannya. Dia mengecewakan keempat anaknya. Dia meninggalkan mereka untuk obat-obatan dan kekerasan, dan ketika saya bertanya apakah dia menyadari kekacauan yang menjadi tanggung jawabnya, dia menjawab: 'Bukan hanya putramu yang meninggal; milikku juga mati," kata Ibn Ziaten.