IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Aliansi Organisasi Masyarakat Sipil mendesak Polri untuk memperbarui Maklumat Kapolri No. 1/Mak/I/2021. Polri diminta untuk setidak-tidaknya mencabut ketentuan poin 2d yang menyatakan soal larangan mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait Front Pembela Islam (FPI).
"Semestinya kepolisian memperbarui maklumat dimaksud, atau setidak-tidaknya mencabut ketentuan poin 2d," ungkap salah satu perwakilan aliansi, Ketua YLBHI Asfinawati, kepada Republika, Sabtu (2/1).
Hal tersebut mereka katakan setelah mencermati materi dari Maklumat Kapolri No. 1/Mak/I/2021 itu serta berbagai peraturan perundang-undangan yang menjamin perlindungan hak asasi manusia. Termasuk pula persyaratan untuk melakukan pembatasan terhadap hak asasi.
"Hal ini untuk memastikan setiap tindakan hukum yang dilakukan sejalan dengan keseluruhan prinsip negara hukum dan hak asasi manusia," kata dia.
Menurut aliansi, itu juga dapat menunjukkan konsistensi dengan Peraturan Kapolri No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian sendiri. Bangsa ini, kata dia, tentunya tidak ingin kembali menjadi bangsa tertutup.
"Yang secara ketat dan sewenang-wenang mengatur informasi yang dapat diakses oleh warganya," ungkap Asfinawati.
Aliansi menjelaskan, akses terhadap konten internet merupakan bagian dari hak atas informasi yang dilindungi UUD 1945, khususnya dalam ketentuan Pasal 28F. Sejumlah peraturan perundang-undangan pun, seperti Pasal 14 UU No. 39/1999 tentang HAM juga mengaturnya.
"Karena itu, dalam melakukan setiap tindakan pembatasan terhadap hak-hak tersebut, harus sepenuhnya tunduk pada prinsip dan kaidah pembatasan, sebagaimana diatur Pasal 28J ayat (2) UUD 1945," jelas dia.
Selain itu, khusus dalam konteks pembatasan hak atas informasi, sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, juga tunduk pada mekanisme yang diatur Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP). Aturan itu telah disahkan dalam hukum Indonesia melalui UU No. 12/2005.
"Dalam hukum HAM, setidaknya ada tiga persyaratan yang harus diperhatikan untuk memastikan legitimasi dari suatu tindakan pembatasan yang dibolehkan atau permissible restriction," terang dia.
Ketiga syarat tersebut sering dikenal sebagai three part test alias tiga uji elemen, yang mengharuskan beberapa hal dalam setiap pembatasan. Pertama, diatur oleh hukum yang oleh sejumlah ahli ditafsirkan harus melalui undang-undang atau putusan pengadilan.
Kedua, untuk mencapai tujuan yang sah. Tujuan yang sah itu terdiri dari keamanan nasional, keselamatan publik, moral publik, kesehatan publik, ketertiban umum, serta hak dan reputasi orang lain. Ketiga, pembatasan itu benar- benar diperlukan dan dilakukan secara proporsional.
"Prinsip ini sesungguhnya dimaksudkan untuk memastikan tidak dilanggarnya hak asasi warga negara dalam setiap tindakan pembatasan yang dilakukan," kata dia.
Lebih jauh, mengacu pada Komentar Umum No. 34/2011 tentang Kebebasan Berekspresi, keseluruhan perlindungan hak yang dijamin oleh ketentuan Pasal 19 KIHSP, juga sepenuhnya menjangkau konten-konten yang menggunakan medium internet, termasuk dalam hal pembatasannya.
Hal itu juga sejalan dengan Resolusi Dewan HAM 20/8 tahun 2012 yang menegaskan, perlindungan hak yang dimiliki setiap orang saat luring, juga melekat saat mereka daring. Perlindungan itu khususnya terkait dengan kebebasan berekspresi, yang berlaku tanpa melihat batasan atau sarana media yang dipilih.
Resolusi itu kemudian diperkuat dengan keluarnya Resolusi 73/27 Majelis Umum PBB, pada 2018, yang mengingatkan pentingnya penghormatan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.
"Dengan pertimbangan tersebut di atas, pertanyaannya kemudian apakah Maklumat Kapolri No. 1/Mak/I/2021 telah memenuhi persyaratan prescribed by law, legitimate aim, dan necessity?" kata Asfinawati.
Menurut aliansi, dasar keluarnya maklumat yang kontennya berisi perintah pembatasan, yang hanya disandarkan pada SKB delapan menteri/kepala lembaga/badan, tentu jauh dari memenuhi persyaratan diatur oleh hukum. SKB pada dasarnya merupakan suatu penetapan yang berbentuk Keputusan, sehingga muatan normanya bersifat individual, konkret, dan sekali selesai.
"Tidak semestinya dia bersifat mengatur ke luar, luas, dan terus- menerus. Artinya, maklumat ini semestinya hanya ditujukan kepada anggota Polri, yang berisi perintah dari Kepala Polri. Wadah hukumnya tidak memungkinkan untuk mengatur materi yang berisi larangan atau pembatasan hak-hak publik," jelas dia.
Aliansi juga menyorot soal tidak adanya kejelasan tujuan yang sah yang hendak dicapai antara untuk mencapai tujuan keamanan nasional, keselamatan publik atau ketertiban umum. Termasuk alasan keharusan untuk melakukan tindakan pembatasan akses konten.
"Situasi atau bentuk pelanggaran HAM yang terjadi jika publik tetap mengakses konten yang dimaksud? Akibatnya, pembatasan akses informasi atau konten internet, dalam bentuk pelarangan, justru tidak memenuhi prinsip proporsionalitas," terang dia.
Kalaupun mengacu pada Pasal 40 ayat (2) huruf b UU Informasi dan Transaksi Elektronik, yang memberikan wewenang bagi pemerintah untuk melakukan tindakan pembatasan akses internet, pun mereka nilai hanya terhadap konten yang dinilai melanggar hukum.
"Selain itu juga harus tunduk pada serangkaian prosedur, dan bentuknya melalui tindakan penapisan/pemblokiran, bukan dalam bentuk larangan publik untuk mengakses, dengan disertai ancaman tindakan pemidanaan," katanya.