Kamis 07 Jan 2021 05:09 WIB

Khilafah, Pan Islamisme, Doktrin Politik Luar Negeri Islam

Kajian khilafan dan Pan Islamisme

Pasar peninggalan Ottoman, Grand Bazaar Istanbul.
Foto:

Dengan pemisahan antara kekuasaan spiritual dan kekuasaan politik ini, negara-negara Eropa memposisikan jabatan Khalīfah setara dengan kedudukan Paus dalam agama Katolik, yakni sebagai pelaksana kekuasaan rohani semata.

Sebagai akibatnya, negara-negara Eropa yang menjajah wilayah-wilayah Islam di Afrika dan Asia mendalihkan bahwa mereka adalah penguasa yang sah atas kaum Muslim secara “duniawi/politik”, sedangkan penguasa “spiritual” mereka tetaplah sang Khalīfah yang bersemayam di İstanbul.

Salah satu contohnya adalah apa yang terjadi di Karachi, yang ketika Khilāfah ‘Uṡmāniyyah berperang dengan Yunani pada 1897 kaum Muslim di sana mengadakan rapat umum untuk mendukung Khilāfah ‘Uṡmāniyyah.

Tatkala rapat umum di Karachi itu menjadi perbincangan di kalangan pers Inggris, salah seorang pemimpin rapat umum itu cepat-cepat mengklarifikasi dan menyatakan bahwa mereka “sangat senang dan nyaman di bawah kekuasaan Inggris yang longgar dan hukum yang adil dari Pemerintah kita.”

Menurut mereka, ini adalah urusan dunia. Dalam kehidupan agama urusannya lain: “Kami menganggap Sultan sebagai kepala agamawi untuk Islam, sama seperti Paus dianggap sebagai kepala dunia Katolik.

Khilāfah, yang dikatakan oleh para ulama sebelumnya sebagai institusi yang menjaga agama (ḥirāsah al-dīn) dan mengatur urusan dunia (siyāsah al-dunyā) makin dikebiri kekuasaannya dalam kepengaturan urusan duniawi, apatah lagi di masa Sultan Abdülmecit I (k. 1839-1861), yang mulai memberlakukan sistem Tanẓimat (Reformasi).

Di era Tanẓimat ini, Khilāfah ‘Uṡmāniyyah mulai memberlakukan banyak undang-undang yang terinspirasi dari Barat. 

  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement