IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama (Kemenag) mematangkan rumusan mitigasi risiko penyelenggaraan haji khusus di masa pandemi. Hal ini dilakukan bersama Asosiasi Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
Pembahasan ini dikemas dalam kelompok diskusi terarah (FGD) Mitigasi Risiko Permasalahan Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus. Kegiatan ini diikuti tujuh asosiasi, yaitu Himpuh, Amphuri, Kasthuri, Asphurindo, Sapuhi, Gapura dan Ampuh.
Hadir juga dalam kegiatan, perwakilan Direktorat Perlindungan WNI, Direktorat Surveillance dan Karantina Kesehatan, Pusat Kesehatan Haji, serta Direktorat Keamanan Penerbangan Ditjen Perhubungan Udara.
Plt Dirjen PHU, Khoirizi H Dasir, menyebut sampai saat ini belum ada negara yang sudah mendapat informasi pasti terkait kepastian pemberangkatan jamaah haji dari Saudi. Namun, persiapan tetap harus terus dilakukan, baik untuk haji reguler maupun haji khusus.
"Ada atau tidak ada kepastian keberangkatan jemaah, persiapan harus terus dilakukan. Sebab, pelayanan, pembinaan, dan perlindungan jemaah haji menjadi amanah undang-undang," kata Khoirizi dikutip di laman resmi Kemenag, Senin (12/4).
Menurutnya, ada sejumlah hal yang perlu dibahas dalam penyiapan proses mitigasi. Antara lain, mencakup opsi dan skenario penyelenggaraan ibadah haji berdasarkan asumsi kuota, skema penerbangan, serta masalah karantina.
Beberapa skema karantina baik sebelum keberangkatan, saat di saudi, ketika pulang, serta siapa penanggung jawab karantina disebut perlu dibahas dan disepakati bersama.
"Embarkasi pemberangkatan juga harus dibahas. Apakah tetap akan tersebar, atau disatupintukan melalui Jakarta misalnya," ujarnya.
Khoirizi juga menggarisbawahi pentingnya mendiskusikan skema layanan akomodasi di Saudi saat pandemi. Termasuk di dalamnya penerapan protokol kesehatan dan disiplin 5M, yaitu memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, mengurangi mobilitas dan menghindari kerumunan.
Terkait kuota, Khoirizi yang juga menjabat sebagai Direktur Bina Haji berkomitmen berapapun jumlah yang diberikan Arab Saudi nantinya, jamaah haji khusus tetap mendapat porsi 8 persen. Sebab, menurutnya hal itu merupakan amanah UU.
Namun, bila Saudi memberikan kuota haji, Khoirizi menggarisbawahi beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, Kemenag dan Komisi VIII DPR berkomitmen bahwa berapanpun kuota yang diberikan akan diberangkatkan.
Kedua, waktu terus berjalan. Perlu dirumuskan opsi-opsi skenario penyelenggaraan berdasarkan asumsi kuota dan ketersediaan waktu. Ketiga, perhitungan biaya protokol kesehatan dan skema pembiayaannya.
Keempat, kesiapan jemaah haji. Sebab, mayoritas atau 63persen jamaah Indonesia adalah lansia, di atas 60 tahun. Hal ini perlu diperhatikan jika ada ketentuan pembatasan usia dan jamaah dengan penyakit bawaan.
"Kita berharap jamaah haji bisa mengukur kemampuannya, baik terkait aspek pengetahuan ibadah maupun kondisi kesehatan," ucapnya.
Sebelumnya, Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus, Arfi Hatim, melaporkan FGD tersebut digelar sebagai langkah antisipasi jika Saudi menetapkan kuota untuk jamaah haji Indonesia. Kegiatan ini juga kelanjutan dari diskusi intens yang sudah dilakukan Kemenag dengan DPR, asosiasi dan stakeholders.
Ada sejumlah isu yang akan dibahas. Di antaranya terkait skema layanan dalam dan luar negeri, serta penerapan protokol kesehatan.
"Hasil diskusi ini akan dituangkan dalam regulasi sebagai pedoman bersama dalam penyelenggaraan ibadah haji khusus, jika Saudi memberikan kuota," ucap Arfi Hatim.