IHRAM.CO.ID, GAZA -- Seperti ribuan orang lainnya di Gaza, Umm Jihad Ghabayin melarikan diri bersama anak-anaknya dari pemboman Israel tanpa sempat memboyong barang apapun selain yang melekat di badan mereka. Masker untuk mencegah dari penyebaran virus corona pun tak sempat ia raih.
Mereka lebih takut terhadap dentuman bom yang menyerang hampir setiap waktu daripada virus corona. Karena hampir seluruh blok menara runtuh, menjadi puing-puing. Serangan udara Israel ini menghancurkan dan telah menggantikan risiko tertular Covid-19 bagi warga Gaza.
"Tentu saja saya takut tertular virus corona, tetapi itu akan lebih mudah (untuk diatasi) daripada rudal Israel," kata ibu dari enam anak, Ghabayin.
"Rudal membunuh kita," salah satu anaknya menambahkan dengan kakinya tertutup debu.
Setelah meninggalkan rumahnya, Ghabayin menemukan tempat berlindung di sekolah yang didukung PBB, di mana dia merasa lebih aman dari pemogokan, tetapi mengakui risiko penularan Covid-19 tinggi.
"Sejak kami tiba pada hari Jumat, kami belum mandi sekali pun," kata Ghabayin (34) dilansir dari Arab News, Kamis (20/5).
“Airnya mati selama berjam-jam, dan kebersihannya kurang," ujarnya menambahkan.
Di sekolah-sekolah yang berubah menjadi tempat penampungan, dan di jalan-jalan Gaza yang dilanda bom, hanya sedikit yang berpikir untuk tetap memakai masker.
"Serangan Israel yang berkelanjutan merusak upaya kami melawan virus corona," kata Ashraf Al-Qudra, juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza.
Gaza, di bawah blokade Israel sejak 2007. Dalam masyarakat miskin dengan infrastruktur kesehatan yang buruk, terbukti sulit untuk mengendalikan penyebaran virus. Sebelum eskalasi militer, tingkat tes positif di Palestina termasuk yang tertinggi di dunia, yaitu 28 persen. Rumah sakit pun dipenuhi oleh pasien. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan lebih dari 100 ribu orang telah dites positif virus corona di Gaza, di antaranya lebih dari 930 telah meninggal.
Juru bicara badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA, Adnan Abou Hasna mengatakan bahwa sekolah yang diubah menjadi tempat pengungsian, telah menampung lebih dari 40 ribu pengungsi Gaza. UNRWA kata dia, bisa saja menjadi pusat gempa virus corona sewaktu-waktu.
Lebih lanjut ia menyebutkan, bahwa fasilitas cuci tangan dan MCK memang telah disediakan namun jumlahnya tidak memadai.
Sebelum eskalasi militer antara Hamas dan Israel seminggu yang lalu, pihak berwenang di Gaza melakukan tes covid-19 kepada 1.600 orang per hari.
"Pandemi telah menempatkan sistem kesehatan Gaza di bawah tekanan besar, sekarang tertekuk ketika mencoba untuk merawat lebih dari 1.500 orang yang terluka akibat serangan Israel," menurut statistik kementerian.
Unit yang sebelumnya didedikasikan untuk pasien virus corona harus mengatur ulang untuk mengatasi masuknya korban akibat serangan Israel.
Salem Al-Attar (38) yang berlindung di sekolah UNRWA setelah rumahnya hancur, mengatakan dia khawatir kondisi yang padat dapat menyebarkan virus dengan cepat menginfeksi. "Situasinya sangat buruk,” katanya, ayah dari enam anak ini.
Di sisi lain halaman sekolah, Umm Mansour Al-Qurum menangis setelah menerima telepon dari seorang tetangga bahwa separuh rumahnya hancur. "Situasinya tak tertahankan, virus corona dan perang pada saat bersamaan," kata laki-laki berusia 65 tahun itu, yang melarikan diri dari pemboman bersama 30 anggota keluarga besarnya. "Aku tidak tahan lagi," ujarnya tersedu.