REPUBLIKA.CO.ID,BERLIN—Jerman telah meluncurkan pusat pelatihan, yang didukung negara, bagi para imam untuk mengurangi jumlah kedatangan imam dari luar negeri. Sekitar 40 calon pemimpin agama telah menghadiri kelas pelatihan pertama di German Collage of Islam di barat laut Osnabrueck pada Senin (14/6), sehari sebelum pelantikan resmi digelar.
Program pelatihan imam akan berlangsung selama dua tahun, dan terbuka bagi seluruh pemegang gelar sarjana teologi Islam atau diploma yang setara. Pelatihan ini akan menyediakan sekitar 12.000 buku agama yang diimpor langsung dari Mesir, dan menawarkan pengajaran praktis dalam pembacaan ayat-ayat Alquran, teknik dakwah, praktik ibadah dan politik.
Dengan antara 5,3 dan 5,6 juta Muslim di Jerman, sekitar 6,4 hingga 6,7 persen dari populasi, peran Islam dalam masyarakat menempati tempat yang menonjol dalam wacana politik. Meski begitu, pusat pelatihan ini baru sebagiannya yang didanai oleh pemerintah federal, serta otoritas lokal di negara bagian Lower Saxony.
Dukungan pengadaan pelatihan para imam di Jerman pertama kali diungkapkan Angela Merkel, kanselir dan mantan ilmuan Jerman, pada 2018. Merkel mengatakan bahwa pelatihan tersebut sangat berguna dan akan membuat Jerman lebih mandiri.
“Kami adalah Muslim Jerman, kami adalah bagian integral dari masyarakat dan kami sekarang memiliki kesempatan untuk menjadi imam 'buatan Jerman'”, kata mahasiswa Ender etin, yang sudah bekerja sebagai imam sukarelawan di pusat penahanan pemuda di Berlin.
Sampai saat ini, sebagian besar imam di Jerman telah dilatih di luar negeri, terutama di Turki, dan juga dibayar oleh negara asal mereka. Sekitar setengah dari 2.000 hingga 2.500 imam di negara itu disediakan oleh Persatuan Islam-Turki untuk Urusan Agama (DITIB) yang telah mengelola 986 masjid di Jerman. Sedangkan sisanya didatangkan dari Afrika Utara, Albania dan bekas Yugoslavia.
Para pemimpin agama ini cenderung datang ke Jerman selama empat atau lima tahun, beberapa dengan visa turis, dan hanya tahu sedikit tentang budaya dan adat setempat. “Para imam ini tidak berbicara bahasa anak muda, bahkan seringkali tidak mengerti bahasa Turki dengan baik,” kata etin, anak dari imigran Turki yang lahir di Berlin.
“Penting untuk menyadarkan bahwa mereka berhubungan dengan realitas masyarakat multikultural di mana orang Kristen, Yahudi, ateis, dan Muslim hidup berdampingan.”
Dia berpendapat bahwa banyak dari para pemimpin juga pejabat Turki yang mengejar agenda politik di Jerman. Pengaruh Ankara telah lama menjadi pertanyaan pelik di komunitas Muslim Jerman, terutama sejak kudeta yang gagal terhadap Presiden Recep Tayyip Erdoğan pada 2016, ungkapnya.
Namun di sisi lain, pelatihan imam dengan dukungan dari negara Jerman juga kontroversial karena bertentangan dengan prinsip bahwa komunitas agama saja yang berhak melatih para pemimpin mereka. Untuk alasan ini, DITIB dan Milli Görüş, organisasi Islam terbesar kedua di Jerman, memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pendirian Sekolah Tinggi Islam Jerman, dengan DITIB meluncurkan program pelatihannya sendiri di Jerman tahun lalu.
Milli Görüş percaya bahwa pelatihan para imam harus bebas dari pengaruh eksternal, terutama pengaruh politik, ujar sekretaris jenderal Bekir Alta. Namun ketua perguruan tinggi Begiç mengatakan bahwa lembaga tersebut dibuat tanpa ada sama sekali pengaruh dari negara, agar tidak mengganggu pengembangan program.
“Imam tetap dibayar rendah dan bergantung pada sumbangan dari umat. Karena kami bukan agen tenaga kerja,” sambungnya.