IHRAM.CO.ID, Situasi politik di Makkah berubah sejak awal abad ke-20. Setelah berbagai dinamika, Ibnu Saud akhirnya menjadi raja yang menguasai Hijaz.
Lantas, penguasa tersebut menerapkan asas tunggal, yakni mazhab wahabi di Tanah Suci. Imbasnya, para pendukungnya hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam ataupun pra- Islam, yang selama ini banyak diziarahi. Mereka menilai ziarah ke situs-situs itu sebagai bi'dah.
Gagasan kaum wahabi mendapat sambutan hangat dari kaum Islam-modernis di Indonesia kala itu. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak asas tunggal wahabi yang diberlakukan di Tanah Suci. Penolakan juga dialamatkan kepada tindakan menghancurkan warisan peradaban, yakni situs-situs ziarah tersebut.
Dalam Kongres Al Islam di Yogyakarta pada 1925, kalangan pesantren tidak diajak serta. Akhirnya, kelompok Islam-tradisionalis itu berada di luar delegasi yang hendak dikirim ke Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Makkah. Menghadapi keadaan demikian, KH Abdul Wahab Hasbullah mengusulkan agar kalangan pesantren membuat delegasi sendiri. Dibentuklah Komite Hejaz.