IHRAM.CO.ID, KABUL -- Pasukan khusus Taliban yang berkamuflase menembakkan senjata ke udara untuk mengakhiri pawai demonstrasi terbaru di ibu kota Kabul oleh wanita Afghanistan, Sabtu (4/9). Para wanita menuntut persamaan hak dari penguasa baru.
Anggota Taliban dengan cepat merebut sebagian besar Afghanistan bulan lalu, dan merayakan kepergian pasukan Amerika Serikat (AS) terakhir setelah 20 tahun perang. Kelompok tersebut harus memerintah negara yang dilanda perang yang sangat bergantung pada bantuan internasional.
Pawai perempuan yang kedua dalam beberapa hari ini di Kabul dimulai dengan damai. Demonstran meletakkan karangan bunga di luar Kementerian Pertahanan Afghanistan untuk menghormati tentara Afghanistan yang tewas memerangi Taliban sebelum berbaris ke istana presiden.
"Kami di sini untuk mendapatkan hak asasi manusia di Afghanistan. Saya mencintai negara saya. Saya akan selalu berada di sini," kata pemrotes Maryam Naiby (20 tahun), dilansir di Al Arabiya, Ahad (5/9).
Saat teriakan para pengunjuk rasa semakin keras, beberapa pejabat Taliban mengarungi kerumunan untuk menanyakan apa yang ingin mereka katakan. Diapit oleh sesama demonstran, seorang mahasiswa (24) Sudaba Kabiri mengatakan kepada teman bicaranya dari Taliban bahwa Nabi memberikan hak-hak perempuan dan mereka menginginkan hak mereka. Pejabat Taliban berjanji akan memberikan perempuan hak-hak mereka.
Ketika para demonstran mencapai istana kepresidenan, belasan pasukan khusus Taliban berlari ke arah kerumunan. Kemudian menembak ke udara dan membuat para demonstran melarikan diri. Kabiri, yang berbicara kepada The Associated Press, mengatakan mereka juga menembakkan gas air mata.
Taliban telah menjanjikan pemerintah yang inklusif dan bentuk pemerintahan Islam yang lebih moderat daripada ketika mereka terakhir memerintah negara itu dari 1996 hingga 2001. Tetapi banyak orang Afghanistan, terutama wanita, sangat skeptis dan takut akan kemunduran hak-hak yang diperoleh selama dua dekade terakhir.
Demonstran perempuan muda mengatakan mereka harus menentang keluarga yang khawatir untuk melanjutkan protes mereka. Bahkan mereka harus menyelinap keluar dari rumah untuk membawa tuntutan persamaan hak kepada penguasa baru.
Seorang mahasiswa lainnya, Farhat Popalzai (24) mengatakan, dia ingin menjadi suara para wanita Afghanistan yang tidak bersuara dan mereka yang terlalu takut untuk turun ke jalan. "Saya adalah suara para wanita yang tidak dapat berbicara. Mereka pikir ini adalah negara laki-laki tetapi tidak, ini adalah negara perempuan juga," kata dia.
Popalzai dan rekan-rekannya terlalu muda untuk mengingat pemerintahan Taliban yang berakhir pada 2001 dengan invasi pimpinan AS. Kata ketakutan mereka didasarkan pada cerita yang mereka dengar tentang perempuan yang tidak diizinkan pergi ke sekolah dan bekerja.
Di sisi lain, Naiby (20) telah mengoperasikan organisasi wanita dan juru bicara Paralimpiade Afghanistan. Dia merenungkan puluhan ribu warga Afghanistan yang bergegas ke Bandara Internasional Hamid Karzai Kabul untuk melarikan diri dari Afghanistan setelah Taliban menyerbu ibu kota pada 15 Agustus.
"Mereka takut," katanya.
Baginya pertarungan ada di Afghanistan.