Sabtu 18 Sep 2021 12:15 WIB

Hukum Haji Bagi yang Buta dan Penyandang DIsabilitas Lainnya

Manasik hukum haji bagi penyandang disabilitas, difabel, dan orang buta.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Hafil
Penyandang disabilitas melakukan manasik haji di Bandung, Selasa (18/11).
Foto: Septianjar Muharam
Penyandang disabilitas melakukan manasik haji di Bandung, Selasa (18/11).

IHRAM.CO.ID, JAKARTA--Imam Nawawi berkata dalam kitabnya Al Majmu, jika seorang yang buta mendapatkan perbekalan, kendaraan, dan pemandu yang menuntun, menunjukkannya tatkala singgah di suatu tempat, menaikkan ke kendaraan dan menurunkan, sedangkan ia sendiri dapat duduk tetap di kendaraan tanpa merasa kesusahan, ia wajib berhaji. Begitu juga orang yang buntung kedua tangan dan/atau kedua kakinya.

"Ia tidak boleh menyewa orang lain untuk menggantikannya berhaji dalam keadaan seperti itu," tulis Syaikh Sa'id bin Abdul Qodir Basyanfar dalam kitabnya Al-Mughnie.

Baca Juga

Kitab ini telah dialih bahasakan dengan judul "Tuntunan Manasik Haji dan Umroh

Terlengkap Berdasarkan al-Qu ran dan Hadits Disertai Pendapat Empat Madzhab" oleh Ayi Muktar.

Namun jika ia tidak bisa menemukan orang yang mau melayaninya, hukumnya sama dengan orang yang tidak mampu. Itu adalah pendapat yang benar di kalangan mazhab kami (Syaf i) dan pendapat itu pula yang dipegang oleh Imam Abu Yusuf, Muhammad, dan Imam Ahmad.

Imam Abu Hanifah berkata dalam salah satu pendapatnya yang paling benar dari dua pendapat beliau, "Orang itu boleh menyewa orang lain untuk menghajikannya jika dalam dua keadaan itu dan ia tidak harus menunaikan ibadah haji sendiri."

Pengarang kitab Aujaj Masalik berkata, "Menurut mazhab Maliki, ibadah haji wajib bagi orang buta yang mampu berjalan dengan bantuan pemandu walaupun harus membayar." Pendapat itu disampaikan Imam Dardiri.

Pengarang kitab Fat-hul Qadir dari kalangan mazhab Hanafi berkata, "Seorang yang buta jika mendapatkan orang yang membantu biaya perjalanannya dan biaya perjalanan pemandunya, ia wajib menunaikan haji." Sementara itu menurut pendapat yang terkenal dari Imam Abu Hanifah, "Ia tidak wajib menunaikan haji."

Dari keduanya (dua sahabat Abu Hanifah, yaitu Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad), "Ada dua riwayat." Adapun Syeikul Islam berpendapat bahwa menurut kedua sahabat Abu Hanifah, "Orang buta itu wajib menunaikan ibadah haji."

Di dalam kitab Syarah Inayah 'Alal Hidayah, Syeikul Islam berkata. "Seorang yang buta jika memiliki perbekalan dan kendaraan tetapi tidak

mendapatkan pemandu, ia tidak wajib menunaikan ibadah haji sendirian."

Itu menurut pendapat kalangan mazhab Hanafi, tetapi apakah ia harus menghajikan dirinya dengan harta bendanya itul Menurut Imam Abu Hanifah, "Tidak wajib." Adapun menurut dua sahabat Imam Abu Hanifah, "'Wajib hukumnya."

Jika orang buta itu mendapatkan pemandu, menurut Imam Abu Hanifah, ia tidak wajib.

Adapun menurut dua sahabatnya, ada dua riwayat.

Riwayat paling kuat diterima dari Imam Abu Hanifah, "Bagi orang yang sakitnya menahun, orang lumpuh, orang yang tidak dapat berjalan,

dan orang yang buntung kedua kakinya, " Ibadah haji itu tidak wajib bagi mereka walaupun mereka mempunyai perbekalan dan kendaraan.

Bahkan, bagi mereka pun tidak wajib menghajikan dirinya sendiri dengan hartanya karena pada dasarnya mereka tidak wajib menunaikan ibadah haji. Oleh karena itu, ia tidak wajib pula menggantikan hajinya dengan orang lain. (badal haji). Itu adalah riwayat dari dua sahabat Imam Abu Hanifah.

Imam Hasan telah meriwayatkan dari Imam Abu Hanifah, Ibadah haji wajib bagi orang yang seperti itu keadaannya mengingat ia mampu melakukan haji dengan bantuan orang lain. Hal itu disamakan dengan orang yang mampu dalam hal perbekalan dan kendaraan.

Perbedaan di kalangan mazhab Hanafi itu berkisar seputar orang yang punya kemampuan dari segi harta tetapi mendapat uzur. Jika ia mampu dan sehat bugar tiba-tiba datang uzur, menurut kesepakatan para ulama, ia wajib menunaikan haji.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement