Asep Aji Fatahillah menceritakan pengalamannya terkena stroke saat berusia 19 tahun. Kala itu, ia masih duduk di bangku kuliah. Karena penanganan yang terlambat, ia harus dirawat selama 2 hari di ICU serta 8 hari di ruang rawat inap.
"Selama beberapa tahun juga saya sempat 5 kali kejang epilepsi," cerita Asep yang kini aktif sebagai sebagai Sekertaris Komunitas Penyintas Stroke kepada DW Indonesia.
Saat itu ia tidak tahu bahwa selepas dari rumah sakit, pasien stroke seharusnya menjalani beberapa terapi lanjutan. Tapi ia memilih terapi alternatif yang justru membuatnya tidak fokus dan sulit berpikir sehingga ia akhirnya drop out (DO) dari perkuliahan.
"Saya baru tahu ternyata stroke perlu penanganan khusus di RS sehingga beberapa tahun lalu saya mulai terapi berobat. Kalau saja tahu lebih awal mungkin saya tidak akan merasa terpuruk seperti sebelumnya," kata Asep.
Stroke adalah suatu gangguan pembuluh darah di otak yang terjadi secara tiba-tiba baik kecil atau besar karena sumbatan atau perdarahan. Serangan otak mendadak atau yang lebih dikenal dengan istilah stroke merupakan penyakit penyebab kematian tertinggi di Indonesia setelah penyakit jantung.
"Setidaknya 21 persen dari total angka kematian dari seluruh kematian diakibatkan karena stroke," kata dokter spesialis saraf RS Pusat Otak Nasional (PON) di Jakarta, dr. Mursyid Bustami.
Sedangkan stroke pada usia muda juga telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2018 melaporkan prevalensi stroke pada populasi di atas 15 tahun adalah 10,9 per 100 meningkat signifikan dibanding 5 tahun sebelumnya yakni 7 per 100 populasi.
"Stroke dapat menyerang semua level usia, termasuk usia muda. Namun semakin lanjut usia, semakin besar kemungkinan terserang stroke," ujar dokter Mursyid.
Faktor risiko stroke utamanya yakni hipertensi, diabetes, kolesterol tinggi, merokok, gangguan irama jantung, penyakit jantung, pengentalan darah, kurang gerak, dan obesitas. Sebagian faktor risiko tersebut dapat terjadi di usia muda.
"Akhir-akhir ini banyak kebiasaan hidup pada usia muda yang menyebabkan terjadinya kondisi atau penyakit tertentu yang akan berakibat stroke seperti minum alkohol, penggunaan obat terlarang seperti kokain, dan gaya hidup tidak sehat," ujarnya.
Ada dua jenis stroke yaitu stroke penyumbatan (iskemik) dan stroke perdarahan (hemoragik). Stroke iskemik terjadi karena penyempitan pembuluh yang akhirnya menyumbat darah dan tidak bisa lancar mengalir ke otak. Sementara stroke hemoragik terjadi karena ada pembuluh darah otak yang pecah sehingga terganggu fungsi otak akibat penekanan dari bekuan darah itu.
Sebanyak 85 persen pasien stroke terserang stroke iskemik sementara 15 persen menderita stroke hemoragik. Yang perlu diingat adalah kedua jenis stroke tersebut sama-sama membuat sel otak perlahan mati karena tidak mendapat suplai darah.
"Selain itu sebagian kecil stroke pada usia muda bisa akibat kelainan bawaan pembuluh darah. Anak muda ini sering kena aneurisma, pembesaran atau penonjolan pembuluh darah karena dinding pembuluh darah lemah dari lahir dan berpotensi pecah," kata dokter yang juga menjabat sebagai direktur RS PON ini.
Dokter Mursyid mengatakan laki-laki lebih berpotensi terserang stroke karena memiliki faktor risiko lebih besar ketimbang perempuan. Meskipun demikian presentasenya tidak begitu jauh, yakni 55 persen laki-laki dan 45 persen perempuan.
"Pada perempuan terdapat hormon yang cenderung melindungi pembuluh darah sehingga tidak rentan terkena penyumbatan," kata dr. Mursyid Bustami.
Dalam memperingati Hari Stroke Sedunia yang jatuh pada 29 Oktober 2021, dr. Mursyid mengingatkan agar masyarakat waspada terhadap stroke. "Jika sudah wajah miring, mulut miring, lemah anggota gerak, bicara cadel, atau tidak bisa bicara secara mendadak, maka segera ke rumah sakit," katanya.
Sementara dokter spesialis saraf dari RS Kariadi Semarang, dr. Dodik Tugasworo, mengatakan golden time atau waktu kritis saat orang terkena serangan stroke adalah 4,5 jam. Sementara rata-rata orang yang datang ke rumah sakit sudah melewati periode tersebut sehingga seringkali tidak tertolong.
"Keberhasilan penanganan stroke sangat tergantung pada kecepatan pasien mendapat penanganan di RS yang tepat. SeGeRa Ke RS (Senyum, Gerak, Bicara, Kebas Rabun dan Sakit Kepala Hebat) tiba-tiba. Tiap menit berharga untuk satu kehidupan. Semoga angka kematian stroke bisa berkurang," harap Dodik.
Koodinator Litbang Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Rehabilitasi Indonesia (PERDOSRI), dr. Vitriana, menilai latihan fisik setelah serangan stroke sangatlah penting agar penderita dapat beradaptasi dan kembali berfungsi secara mandiri. Orang yang sudah pernah stroke harus rehabilitasi secara komprehensif lewat fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, ortotis prostestis juga psikologi.
"Latihan fisik dilakukan secara bertahap dari 2 minggu-6 minggu karena jika dalam waktu lama tidak di rehabilitasi, maka akan mengalami kesulitan untuk mengembalikan fungsi awalnya, latihannya pun harus terus menerus, tidak bisa berhenti di tengah jalan. Latihan yang bisa diberikan untuk pasien stroke antara lain latihan fleksibilitas, latihan penguatan seperti angkat beban, senam aerobik, latihan keseimbangan, dan latihan koordinasi seperti menangkap bola," katanya.