IHRAM.CO.ID, WASHINGTON -- Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) menyetujui penjualan senjata dalam jumlah besar untuk pertama kalinya ke Arab Saudi. Amerika Serikat sepakat untuk menjual 280 rudal udara ke udara senilai hingga 650 juta dolar AS.
Pentagon menginformasikan tentang penjualan itu kepada Kongres, pada Kamis (4/11). Jika disetujui, kesepakatan itu akan menjadi penjualan pertama ke Arab Saudi, sejak pemerintahan Presiden AS Joe Biden mengadopsi kebijakan hanya menjual senjata pertahanan ke sekutu di Teluk.
Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan, mereka telah menyetujui penjualan pada 26 Oktober. Dia menambahkan bahwa, penjualan rudal udara-ke-udara terjadi setelah peningkatan serangan lintas perbatasan terhadap Arab Saudi selama setahun terakhir. Rudal tersebut diproduksi oleh Raytheon Technologies.
"Penjualan itu sepenuhnya konsisten dengan janji pemerintah untuk memimpin dengan diplomasi, untuk mengakhiri konflik di Yaman," kata juru bicara Departemen Luar Negeri dalam sebuah pernyataan.
Juru bicara Departemen Luar Negeri mengatakan, rudal udara-ke-udara bertujuan untuk memastikan Arab Saudi memiliki sarana mempertahankan diri dari serangan udara Houthi yang didukung Iran. Paket penjualan rudal tersebut akan mencakup 280 AIM-120C-7/C-8 Advanced Medium Range Air-to-Air Missiles (AMRAAM), 596 LAU-128 Missile Rail Launchers (MRL) bersama dengan kontainer dan peralatan pendukung, suku cadang, rekayasa kontraktor dan dukungan teknis.
Meskipun telah disetujui oleh Departemen Luar Negeri, pemberitahuan penjualan tersebut tidak menunjukkan ada kontrak yang telah ditandatangani. Anggota parlemen AS telah mengkritik Riyadh karena keterlibatannya dalam perang di Yaman, yang dianggap sebagai salah satu bencana kemanusiaan terburuk di dunia. Parlemen AS telah menolak penjualan peralatan militer untuk Saudi tanpa jaminan bahwa, senjata tersebut tidak akan digunakan untuk membunuh warga sipil. Pemerintahan Biden telah meninjau ulang pendekatannya ke Arab Saudi.
Arab Saudi adalah mitra penting AS di Timur Tengah, terutama dalam melawan ancaman yang ditimbulkan oleh Iran. Namun negara tersebut memiliki masalah hak asasi manusia yang cukup serius.