IHRAM.CO.ID, YERUSALEM -- Turki telah menjadi tujuan studi utama bagi warga Palestina sejak 2010, tetapi sejak 2017 tujuan itu telah berubah. Banyak orang-orang Palestina yang lebih tertarik mempelajari Bahasa Inggris daripada bahasa Turki.
"Minat warga Palestina untuk belajar bahasa Turki telah menurun sejak 2017. Minat yang lebih besar dalam bahasa Inggris telah muncul," kata Direktur Eksekutif The Ottoman Culture Center Omar Saleh, dilansir dari Almonitor, Rabu (10/11).
Menurut Saleh, bertahun-tahun yang lalu, banyak warga Gaza bergegas untuk belajar bahasa Turki, terutama mereka yang ingin pergi ke Turki untuk mencari pekerjaan, kuliah atau pindah. Tapi kini keengganan itu meningkat secara signifikan dalam beberapa bulan terakhir.
“Saat ini para siswa The Ottoman Culture Center Omar Saleh yang belajar bahasa Turki adalah mahasiswa yang ingin mendapatkan beasiswa yang diberikan pemerintah Turki setiap tahun kepada Palestina," kata dia.
Tahun ini, The Ottoman Culture Center Omar Saleh pun meniadakan kursus bahasa Turki karena jumlah peserta yang rendah. Hal ini berbanding terbalik dengan kursus bahasa Inggris yang harus membuka empat kelas.
Salah satu penyebabnya diyakini karena peristiwa ekonomi dan politik, terutama depresiasi mata uang Turki dan hilangnya tujuh warga Palestina di Turki pada September lalu. Kantor berita Shehab yang berafiliasi dengan Hamas melaporkan pada 10 Oktober lalu, bahwa tujuh warga Palestina ditahan di penjara Turki karena terlibat dalam kasus terkait keamanan nasional Turki.
Selain itu, Turki tidak lagi menjadi tempat yang cocok bagi pencari kerja Palestina yang mencari peluang lebih baik di negara-negara Eropa lainnya, seperti Jerman, Austria dan Belgia. Meski mereka tiba di Turki, namun itu hanya sebatas transit dalam perjalanan menuju negara lain.
Kepala komunitas Palestina di Istanbul, Hazem Antar, mengatakan bahwa sekitar 20 ribu hingga 22 ribu warga Palestina tinggal di Turki pada waktu itu. Salah satunya Khamis al-Saidi (22), yang melakukan perjalanan ke Turki tiga tahun lalu untuk mencari pekerjaan.
“Bekerja di Turki adalah ide emas bagi saya dan para pemuda Palestina yang menganggur. Itu sebabnya saya terdaftar di institut berbahasa Turki (di Gaza)," ceritanya.
Dia mengatakan bahwa dia bekerja di beberapa sektor di Turki, seperti pakaian, pertanian dan makanan, sebelum dia memutuskan untuk pindah ke Belgia dua bulan lalu.
“Tinggal di Turki menjadi lebih rumit bagi pengungsi dan ekspatriat. Turki tidak lagi menjadi tujuan pencari kerja, di tengah kurangnya kesempatan kerja dan upah yang rendah," ungkapnya.
Menurut Saidi, penurunan lira Turki adalah akibat dari jenuhnya pasar pencari kerja karena kebijakan Turki menarik pengungsi seperti Suriah dan Afghanistan. Ketika dia pindah ke Turki tiga tahun lalu, lira bernilai 0,18 dolar, dibandingkan dengan 0,10 dolar hari ini.