IHRAM.CO.ID, JAKARTA – Perjuangan kemerdekaan India tak terlepas dari kontribusi para Muslim. Sayangnya, mereka dicap sebagai orang asing. Padahal peran mereka sangat besar dalam pengorbanan untuk kemerdekaan India.
Ini terlihat dari para kaisar Mughal, pangeran, tuan rumah, ulama, dan rakyat biasa. Pada pemberontakan 1857, ribuan ulama dibantai dan seluruh wilayah Delhi dikosongkan dari Muslim. Syed Ubaidur Rahman mengatakan dalam Ensiklopedia Biografi Pejuang Kemerdekaan Muslim India, pejabat Inggris dan sejarawan telah menuduh Muslim sebagai pemberontak paling berbahaya pada tahun 1857. Mereka juga menyebut pemberontakan yang dilakukan oleh ulama untuk merebut kembali kekuasaan di India merupakan alur yang jahat.
Jauh sebelum itu, para ulama dan sufi telah memprediksi malapetaka yang akan terjadi dari pemerintahan Inggris. Pada puncaknya, ratusan ribu pejuang Muslim berkumpul di titik-titik pemberontakan, yaitu Delhi, Lucknow, Bareilly, Agra, dan Thana Bhawan. Mereka berjuang sampai titik darah penghabisan.
Meskipun kelaparan selama berhari-hari karena kekurangan pasokan makanan, mereka memberikan perlawanan yang besar. Di banyak tempat, para ulama dan sufi menyerukan perang melawan ketidakadilan jauh sebelum pecahnya Ghadar pada tahun 1857.
Maulvi Sarfaraz Ali adalah salah satu pemimpin yang perannya masih diselimuti misteri. Dia adalah sosok di balik Panglima Tertinggi Bakht Khan yang berjuang melawan tentara Inggris.
Nawab Tafazzul Husain Khan dari Farrukhabad harus membayar mahal atas dukungannya kepada para pemberontak. Harta miliknya disita dan ia dikirim ke Hijaz. Dia meninggal di sana dalam keadaan miskin. Sementara pejuang lain, Abdul Rehman Khan dieksekusi dengan cara digantung di Delhi pada tanggal 23 Desember 1857.
Dilansir The Siasat Daily, Sabtu (1/1), ketika pasukan Inggris kembali menduduki kota pada tahun 1857, mereka diberi kebebasan untuk membunuh Muslim dan menjarah harta benda mereka. Pasukan militer memerintahkan penduduk kota untuk segera mengosongkan rumah dan meninggalkan bisnis untuk membuat Delhi aman bagi pasukan pendudukan.
Sementara seluruh kota dikosongkan dari penduduk, baik Hindu dan Muslim, penduduk Hindu diizinkan untuk kembali pada tahun 1858. Namun, kaum Muslim dikucilkan selama dua tahun lagi.
Tempat ibadah mereka dan simbol spiritualitas direbut dan diduduki sebagai barak oleh pasukan Inggris. Masjid Jama diubah menjadi barak tentara tempat sepoy Sikh ditahan selama beberapa tahun sebelum diserahkan kembali kepada umat Islam setelah melalui proses negosiasi panjang. Masjid Fatehpuri dijual kepada seorang pengusaha Hindu.
Di Kucha Chelan yang merupakan pusat seni dan akademisi, seluruh penduduk yang berjumlah 1.400 orang, termasuk ulama terkenal, Imam Baksh Sahbai dan putra-putranya dibantai. Hal yang terjadi di Delhi terulang di hampir semua kubu pemberontak, baik di Lucknow, Allahabad, Bareilly, Kanpur, Shahjahanpur atau kubu pemberontak lainnya. Pusat-pusat kota diratakan, orang-orang dibantai, dan rumah serta properti mereka disita.
Muslim tidak hanya memimpin dalam pemberontakan tetapi mereka berada di garis depan dalam semua upaya lain untuk menggulingkan rezim kolonial Inggris. Muslim juga merupakan bagian utuh dari perjuangan anti kolonial Kongres. Dari Hakim Tayabji hingga Maulana Abul Kalam Azad, ada sembilan pemimpin Muslim yang menjadi presiden Kongres Nasional India. Muhammad Ali Jauhar, Shaukat Ali, Maulana Azad, Dr Mukhtar Ansari, Hakim Ajmal Khan, Maulana Mahmud Hasan dan banyak pemimpin Muslim papan atas sama-sama dihormati dan sangat populer.
Mereka memberikan setiap pengorbanan untuk gerakan kebebasan. Tanpa pengorbanan mereka, tidak terbayangkan bahwa India meraih kemerdekaan.