Pada era Orde Baru, fenomena Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB)sempat menuai keresahan di tengah umat.Kiai Ibrahim lantas mengumumkan fatwa bahwa SDSB bukanlah judi (maisir). Dalam pandangannya, tidak setiap undian adalah maisir. Menurutnya, dalam jual beli atau sewa-menyewa pun mengandung unsur untung-untungan atau ketidakpastian. Keduanya tidak dikategorikan haram.
Sejalan dengan Mazhab Syafii, illathukum keharaman maisiradalah taruhan dan berhadapan.Jika keduanya tidak ada, berarti SDSB tidak termasuk judi. Banyak kalangan awam yang merundung Kiai Ibrahim saat itu akibat fatwanya tersebut. Kemudian, ia menulis buku, Ma Huwa al-Maisir: Apakah Judi itu(1987) untuk semakin menjelaskan dasar pemikirannya kepada publik.
Dalam buku tersebut, ia memaparkan bahwa hikmah dari illatitu adalah karena taruhan yang berhadap-hadapan dapat menimbulkan permusuhan dan membuat orang lupa kepada Allah. Maisirbukan haram karena sifat dasarnya (li dzatihi), melainkan li sadz dzariah. Itu sebagai tindakan preventif untuk mencegah kerusakan.
SDSB bukanlah maisirkarena tidak ada unsur berhadap-hadapan dan status hukumnya adalah mubah. Akan tetapi, lanjutnya, bila dalam praktiknya SDSB menimbulkan ekses negatif, maka berlaku kaidah mencegah kerusakan harus didahulukan. Jadi, perbuatan mubah bisa berubah haram kalau berpotensi memunculkan kerusakan.
Menurut Kiai Ibrahim, yang berwenang menetapkan SDSB saat itu lebih banyak dampak buruknya ataukah tidak adalah pe merintah. Diketahui, pemerintah menyatakan SDSB berdampak buruk. Maka, Kiai Ibrahim pada akhirnya berpendapat, SDSB menjadi haram. Namun, hal itu tidak disebabkan statusnya judi, tetapi potensi menimbulkan kerusakan, berdasarkan penilaian pihak yang berwenang.
Mengenai keteguhannya dalam berfatwa dengan ilmu, KH Ibrahim menuai banyak respek. Ketua umum PBNU 1984-1999 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah menyebut sang kiai sebagai pembaharu hukum Islam di Indonesia. Kealiman dan keberanian cendekiawan tersebut dalam mengeluarkan fatwa telah melegenda.