IHRAM.CO.ID, Oleh Achmad Syalabi Ichsan dari Madinah, Arab Saudi
Selepas Sholat Subuh berjamaah di Masjid Nabawi, Tim Media Center Haji (MCH) beranjak ke Pemakaman Baqi’ Al Gharqad yang berada di timur masjid. Saya dan beberapa kawan memang bersepakat untuk meziarahi pemakaman tua itu sambil mencari objek liputan. Setiap musim haji, Baqi’ selalu menjadi tempat istimewa yang mengundang rasa ingin tahu pembaca.
Ada sebuah gerbang dengan dua akses pintu di Baqi. Satu untuk masuk lainnya untuk keluar. Kami ikut mengantre bersama ribuan jamaah lainnya dari beragam negara. Belasan askar berjaga di makam-makam yang berukuran besar. Lainnya sibuk berteriak mengatur ketertiban jamaah.
Tidak ada petunjuk mengenai identitas penghuni Baqi’. . Kami hanya tahu dari sirah jika Baqi dihuni oleh manusia-manusia istimewa. Mengutip dari Sami bin Abdullah Al-Maghlouth dalam Atlas Haji dan Umrah, lebih dari sepuluh ribu sahabat, ahli bait, keturunan paman, dan istri Rasulullah (selain Khadijah dan Maimunah) serta para tabi’in dimakamkan disana.
Dahulu, Baqi’ al-Gharqad adalah kebun dengan banyak pohon berduri (Gharqad). Warga Madinah ingin sekali dikubur di Baqi’ sehingga mereka menebang pepohonan tersebut untuk dijadikan pemakaman. Saya mencoba mengirim surat Al-Fatihah bagi kuburan-kuburan tidak bernama itu.
Menjelang pintu keluar, ada seorang pria berpostur kurus yang menarik perhatian para peziarah lainnya. Sarung menutupi bagian bawah tubuhnya sedangkan kepalanya mengenakan serban. Dia keluar dari jalur peziarah untuk masuk ke area makam. Mulutnya komat-kamit sambil membuka handphone. Saya was-was karena ada askar yang berada tak jauh darinya. Untungnya, tugas sebagai penjaga makam membuat askar itu tak bisa meninggalkan posnya. Saya tunggu pria itu kalau-kalau dia ‘digaruk’. Sungguh tabu bagi peziarah untuk berlama-lama bahkan mendekatkan diri dengan makam-makam di Baqi’
Setelah cukup merapal doa, Zumarudin, nama pria itu, kembali ke jalur pejalan kaki. Jalannya yang ringan membuat saya tenang. Dia pun menyalami saya yang sejak tadi memang memperhatikannya dari belakang. “Saya dari Semarang,”ujar Zumarudin, singkat.
Zumarudin ternyata baru saja menyelesaikan tahlilan online. Dia mengajak istri dan dua putrinya di Tanah Air untuk bersama-sama memanjatkan doa dan bertawasul kepada para penghungi Baqi. Doa dimohonkan bagi semua yang dimakamkan disini. Termasuk, ujar dia, para jamaah haji yang wafat pada musim haji sebelum-sebelumnya.
Tidak terhitung sudah berapa manusia yang dimakamkan di Baqi’. Di Masjid Nabawi, ada sholat yang mesti dilakukan setiap selesai sholat rawatib yakni sholat jenazah. Sepengalaman saya, niat sang imam pun selalu melafazkan ‘Asholatu ‘alal amwat. Artinya, sholat untuk banyak jenazah. Tidak sedikit diantara mereka yang dimakamkan di Baqi’.
Beberapa jamaah haji Indonesia baru-baru ini dimakamkan disana. Mereka harus bergabung dengan liang lahat jenazah lainnya mengingat makam yang sudah terlalu padat. “Mereka sudah enak disini. Kita yang iri ke mereka,”kata Zumarudin.
Saya mafhum dengan pernyataan pria yang mengaku sebagai pengusaha parfum itu. Betapa banyak jamaah haji Indonesia yang bercita-cita untuk meninggal di Tanah Suci. Tidak terkecuali dimakamkan di Baqi’. Kementerian Kesehatan bahkan merilis sebanyak 9,3 persen jamaah ingin wafat di Arab Saudi. Tidak hanya itu, rasio kematian jamaah Indonesia dari musim-ke musim menjadi tantangan dari penyelenggara haji. Rasio dua kematian dari setiap seribu jamaah dinilai terlalu tinggi ketimbang negara lain. Inilah yang coba diturunkan meski pada hari ke-15 sejak keberangkatan jamaah ke Tanah Suci, sudah ada enam jamaah meninggal.
Pengalaman yang lalu-lalu, tingkat kematian meningkat setelah puncak haji di Arafah, Muzdalifah, Mina (Armuzna). Banyak jamaah Indonesia yang sudah kelelahan sebelum periode ini dimulai. Tingginya semangat saat menunaikan ibadah di Tanah Suci — yang beberapa diantaranya tidak berhubungan dengan rukun dan wajib haji — membuat kondisi tubuh menurun. Kesehatan sudah tidak optimal menjelang Armuzna dan saat menjalani wukuf di Arafah. Padahal, disitulah inti haji yang sebenarnya.
Keyakinan banyak jamaah jika meninggal di Tanah Suci menjadi satu kemuliaan menjadi tantangan tersendiri bagi para petugas. Meski
ekspektasi itu juga didasari tebalnya iman, sudah waktunya para jamaah untuk meniru perspetif para ulama kita terdahulu. Mereka berbondong-bondong ke Tanah Suci demi beribadah dan menimba ilmu. Mereka pasti punya kesempatan untuk wafat dan dimakamkan disana. Meski demikian, mereka memilih pulang untuk menjadi agen perubahan di masyarakat. Mereka menebar kebaikan dengan usaha dan dakwahnya. Saat wafat di Tanah Air pun, alam dan manusia menyaksikan jika mereka mulia.
Di akhir tulisan ini, ijinkan saya mengutip sebuah hadis yang diriwayakan oleh Abdullah bin Busr Ra. Syahdan, ada seorang arab badui berkata kepada Rasulullah SAW. “Wahai Rasulullah, siapakah sebaik-baiknya manusia? Beliau menjawab, “Siapa yang paling panjang umurnya dan baik amalannya.” (HR Tirmidzi).