IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Dokter spesialis kedokteran jiwa (psikiater) Jiemi Ardian mengatakan sehat jiwa bukan hanya tentang perasaan bahagia, tapi juga kemampuan seseorang mengatasi tekanan hidup hingga berkontribusi pada komunitas di sekitar mereka.
"Sehat jiwa adalah keadaan sejahtera secara mental yang memungkinkan seseorang mengatasi tekanan hidup, menyadari kemampuan mereka, bekerja dan belajar dengan baik, dan mampu berkontribusi pada komunitas. Tidak ada harus selalu bahagia. Jadi, lebih kepada keseluruhan kehidupan, bukan sekadar perasaan (bahagia)," kata Jiemi dalam acara bincang-bincang kesehatan mental yang diikuti dari Jakarta, Jumat (30/9/2022).
Dengan demikian, dokter dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) itu mengatakan untuk mengetahui apakah seseorang mengalami masalah kejiwaan dapat dilihat dari tiga kondisi, yakni distress (penderitaan), disability (ketidakmampuan), deviance (pergeseran), dan danger (perilaku berbahaya).
Ia menjelaskan, distress mungkin tidak terlihat dari luar. Tapi, seseorang yang mengalaminya akan merasakan penderitaan di dalam jiwa yang bisa saja menyebabkan masalah kesehatan.
"Mungkin kita senyum dan bahagia-bahagia saja, tapi kita bisa merasakan penderitaannya di dalam. Yang sedang dilakukan kok nggak menyenangkan. Bahkan mungkin terasa di tubuh seperti GERD atau migrain," katanya.
Ia melanjutkan, kondisi lainnya yakni disability menyebabkan seseorang tidak mampu melakukan aktivitas seperti biasa bahkan tidak mampu merawat diri sendiri. "Yang dulunya dandan jadi nggak dandan, dulunya rajin mandi jadi malas mandi, dulunya rapi jadi berantakan. Misalnya begitu," ujarnya.
Sementara deviance dikatakan Jiemi adalah adanya pergeseran atau perbedaan dari hal-hal yang umum dilakukan. Misalnya, saat seseorang tidak bisa tidur sampai berhari-hari atau menjadi tidak sanggup untuk ke luar rumah dan bertemu banyak orang.
Sedangkan danger adalah perilaku berbahaya. Dalam hal ini, biasanya seseorang yang mengalami masalah kejiwaan kerap berpikir untuk menyakiti diri sendiri.
"Selain itu juga ada pikiran untuk menghilang. Misalnya boleh nggak hari besok itu nggak ada. Nah, ini adalah tanda bahaya, menginginkan kehilangan," kata Jiemi.
Menurut dia, jika mengalami setidaknya dua dari tiga tanda-tanda tersebut maka patut diwaspadai seseorang sedang tidak baik-baik saja. Namun, perlu diingat seseorang tidak bisa mendiagnosis diri sendiri sehingga jika mengalami tanda-tanda tersebut, dia menganjurkan untuk mencari pertolongan profesional.
"Tapi, nggak harus kita mengalami dua dari empat itu dulu kok. Kalaupun hanya mau konsultasi, ingin mengembangkan diri, atau sekadar mengenali pola-pola yang bermasalah untuk mencegah masalah selanjutnya, boleh ke psikolog klinis," kata Jiemi.
Ikuti Whatsapp Channel Republika