REPUBLIKA.CO.ID, Melakukan jidal atau berdebat termasuk salah satu dari sekian banyak larangan dalam haji. Larangan melakukan jidal ini terdapat dalam Alquran surat Albaqarah (2) ayat 197,
“Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan (jidal) dalam masa mengerjakan haji.”
Ahmad Musthafa al-Maraghi menyebutkan bahwa seseorang yang sedang melakukan ibadah haji tidak boleh melakukan farats, berbuat kefasikan, dan melakukan jidal. Seorang yang melaksanakan haji sedang berhadapan dengan Allah SWT, memenuhi dan mentaati panggilan-Nya, untuk mencapai ridha-Nya.
Ketika berhadapan dengan Allah, seseorang harus menghindari kebiasaan buruk pribadinya, menjauhkan diri dari kenikmatan duniawi, membersihkan diri dari saling bermegah antara sesama, karena pada saat itu yang dituntut adalah persamaan antara si kaya dengan si miskin, antara rakyat dan penguasa.
Pada saat orang seseorang sedang beribadat dan memunajat dengan Allah, hendaklah dia berada dalam adab yang pallng sopan dan sikap yang paling baik, berbeda dengan ketika dia berhadapan dengan sesama manusia.
Melakukan jidal ketika sedang melakukan haji menurut para ahli fiqh memang secara langsung tidak membatalkan haji, karena tidak menghilangkan syarat, rukun, dan wajib haji. Haji yang dilakukan oleh orang yang melakukan jidal tetap sah menurut ketentuan syariat, akan tetapi nilainya telah berkurang.
Di dalam pelaksanaan haji, memang ada larangan-larangan haji yang tidak membatalkan atau menimbulkan kewajiban menyembelih korban atau fidiyah, akan tetapi pelanggarnya akan menerima sanksi moral berupa celaan atau berkurangnya nilai Ibadah haji dan umrah yang dilaksanakannya.
Diantara larangan yang termasuk ke dalam kategori ini adalah berbantah- bantahan adalah dalam masalah yang tidak perlu, mengandung unsur permusuhan, dan tidak didasarkan kepada ilmu pengetahuan.