Jumat 05 Sep 2014 13:18 WIB

Kenangan Pasar Seng Nenek Toer

Pengamat haji, M Subarkah
Foto: Dokpri
Pengamat haji, M Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, wartawan senior Harian Republika dan pengamat haji

Wajah Nenek Toer terlihat sumringah. Senyumnya mengembang lebar. Bicaranya bersemangat. Saat itu dia mendapat undangan walimatul safar  dari kemenakannya yang akan berangkat haji.

''Ya saya besok ke rumahmu. Tapi dijemput ya?''. Kemenakannya menjawabnya dengan mengangguk.''Siap Nek!'' sembari berdiri tegak dan memberi hormat kepada neneknya.

''Kamu ini. Orang tua kok dijadikan ledekan.. kenapa dulu tidak jadi tentara atau pegawai negeri saja seperti kakekmu...Ingat pegawai negeri dan juga haji,'' ujar sang Nenek. Sang cucu hanya bisa 'nyengir kuda'. Sesaat kemudian dia mengucapkan salam sembari mencium tangan sang Nenek untuk meminta pulang.

''Hati-hati di jalan jangan ngebut. Nenek tahu dalam seminggu kau sudah dua kali nyungsep naik motor. Jangan berlagak jagoan,'' nasihat Nenek Toer.

                                        ******

Sore harinya hujan turun dengan lebat. Cuaca agak gelap menyelemuti ruangan tengah rumah. Meski begitu di dalam suasana kamar yang remang-remang,  Nenek Toer tetap semangat membongkar isi almari pakaian. Dia ingin mencari sepotong sajadah berwarna kuning kemasan yang sepuluh tahun silam dibelinya  sewaktu naik haji di Makkah.

Tapi benda yang dicarinya tak kunjung ditemukan. Sajadah kuning yang terbuat dari serat yang halus dan wangi tak kunjung terlihat. Isi almari pun sudah diobrak-abrik dan di keluarkan. Namun, benda yang dicarinya tetap hilang. Padahal benda yang dahulu dibeli 30 real sangat disayanginya.

''Warni di mana sajadah kuningku...?'' tanya Nenek Toer dengan suara keras kepada pembantu rumahnya. Warni yang saat itu berada di dapur segera menemuniya. Dia kaget bukan kepalang ketika melihat almari sudah dikosongkan serta isinya dikeluarkan. Ruangan tengah kini seperti kapal pecah.

''Di mana Warni..Sajadah kuningku di mana,'' katanya ketika melihat ke datangan pembantunya. Warni  berusaha ikut membantu mencarinya. Tapi sajadah itu tak kunjung ditemukan.''Wah tak tahu Nek..Dulu Nenek simpan di mana,'' jawabnya. Mendengar jawaban itu Nenek Toer makin panik. Sajadah yang dalam beberapa tahun terakhir selalu menemaninya, khususnya ketika shalat tarawih selama Ramadhan,  menghilang tanpa jejak.

''Sudahlah Nek jangan terlalu sedih..Besok ketika datang ke walimatul safar orang naik haji, Nenek nitip uang  saja ke dia agar bisa belikan lagi sajadah sama yang baru,''  saran Warni. Nenek menangguk setuju. Dia pun berencana menitipkan benda itu.''Aku dulu beli sajadah itu di Pasar Seng Makkah. Pasti masih dijual barang itu,'' sahutnya sembari bergumam.

Dan benar saja, ke esokan paginya Nenek Toer begitu bersemangat berangkat ke rumah kemenekannya. Di sana sudah berkumpul banyak orang. Acara itu pun berlangsung meriah. Dua kambing dipotong.  Aneka kue panganan disiapkan. Serombongan ibu-ibu pengajian yang akan meramaikan acara dengan melantunkan shalawat sudah datang. Acara pesta selamatan orang naik haji  benar-benar tak beda dengan acara pernikahan.

Seusai acara tanpa basa-basi Nenek Toer segera menemui kemenakannya. Dia pun menitipkan uang sebanyak 30 real kepada sang kemenakan agar membelikan sajadah berwarna kuning dan wangi yang dijual di Pasar Seng Makkah.''Jangan lupa itu. Sajadah di jual di sana. Kiosnya bernama Museum. Milik orang Mesir,'' katanya. Kemenekaannya pun menangguk menyetujuinya.

 

                                      ******

Namun sekitar dua bulan ke depan, yakni ketika sang kemenakan pulang haji, dia segera datang menemuinya. Kini wajah Nenek Toer makin berseri ketika melihat kemenakannya sudah 'resmi' menjadi haji. Dia bangga bukan kepalang ketika melihat peci putih bertengger di atas kepalanya.

''Tapi ngomong-ngomong mana pesanan saya,'' katanya. Sang kemenakan hanya tersenyum menjawabnya.''Beres..Ini sudah saya siapkan,'' sahut sang kemenakan sembari menaruh sebuah bungkusan di depannya.

Segera saja Nenek Toer membuka bungkusan itu. Di depannya terhampar sebuah sajadah berwarna kuning yang beraroma harum.''Ini pasti harganya masih 30 real. Soalnya di Arab kan tak ada inflasi. Pasti ini beli di Pasar Seng kan?'' katanya.

Sang kemenakan hanya bisa menjawabnya dengan menggelengkan kepala. Dia tahu Pasar Seng kini sudah tak ada. Suasana Kompleks Masjidil Haram sudah sangat berubah total. Pasar Seng sudah dirobohkan. Lahan yang dahulu diisi jejalan kios ala pedagang kaki lima,  kini sudah menjadi lapanganan luas. Kala musim haji di sebagian lahan yang ada di dekat itu menjadi terminal bus.

''Nek Pasar Seng sudah rubuh. Pasarnya kini pindah di mall. Jadi Pasar Seng menjadi 'Pasar Mall' yang dibangun konglomerat Arab Bin Laden,'' katanya.

''Oh begitu..tapi di Pasar Mall ada yang jualan akik tidak. Soalnya dulu kakekmu beli akik di sana,'' tanya dia.

Kemenakannya segera menjawabnya: ''Ya jelas ada yang jualan akik. Tapi bukan akik biasa. Kebanyakan akik yang dijual di sana bukan kualias biasa atau murah harganya. Yang dijual  akik permata yang gedenya semata kucing. Tak ada lagi barang yang seperti di Pasar Seng yang murah meriah!''

Nenek Toer mengangguk-angguk. ''Kalau begitu Masjidil Haram sudah berubah ya..'' jawabnya lirih. Setelah itu, sajadah yang dibelikan kemenakannya dari 'Pasar Mall' Masjidil Haram segera diraihnya. Meski Pasar Seng tak ada, keinginannya terkabul. Sajadah kuning seharga 30 real kini kembali menemani aktivitas ibadahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement