Jumat 05 Sep 2014 17:56 WIB

Haji, Simulasi Umat Teladani Perjuangan Agama Ibrahim (2-Habis)

Rep: c78/ Red: Agung Sasongko
Hawe Setiawan
Foto: Dok/Republika
Hawe Setiawan

REPUBLIKA.CO.ID,  Di Madinah, ia pun kembali mendapat lintasan penyadaran. Di sana, ia melihat banyak orang yang menangis histeris di depan makan Rasulullah. Meskipun mereka dipukuli para satpam di sana, karena dianggap bertindak terlalu berlebihan dan diduga mengkultuskan, tapi justru ia berpandangan lain. “Masalahnya bukan musyrik atau mengkultuskan, tapi di sanalah ada gambaran, bahwa orang butuh medium untuk menumpahkan rasa cintanya yang besar terhadap Rasul,” katanya.

Pengalaman perjalanan haji ke tanah suci tak lantas membuatnya menyematkan huruf H di depan namanya, sebagaimana kebiasaan masyarakat Indonesia lain. Baginya, itu terlalu biasa. Alih-alih menyematkan gelar haji di depan nama, Ia justru meleburkannya. Sebagaimana keinginannya untuk meleburkan makna ritual haji dalam kesehariannya, setelah meninggalkan di tanah suci.

Jadilah, nama Wawan berubah. Huruf H ia biarkan tertulis sebagaimana diucap, begitupun nama depannya, W, ditulis sebagaimana mengucapan huruf itu. Jadilah namanya melebur dengan haji, yang beda dari yang lain: Haji Wawan “HaWe” Setiawan.

Sebab baginya, peleburan  ibadah haji tak boleh sekadar dalam  rangkaian nama. Gelar haji, kata dia, sah tersemat di diri seorang muslim bukan ketika ia telah melakukan ritual haji di tanah suci. Haji tersemat di diri Muslim, ketika ia menginjakkan kaki kembali dari tanah suci ke negaranya sendiri. Di sanaah perilaku seorang haji harus selalu dijaga. Hingga ajal menjemputnya nanti.

Hal pertama yang ia lakukan sekembalinya dari tanah suci ialah menikah. Sebab dipikirnya, seorang haji tidak boleh pacaran. Maka,  pacarnya pun resmi dinikahi setelah pulang berhaji. “Tidak ada konsep apcaran dalam Islam, meski dalam situasi yang tidak mapan, kuliah belum selesai, bismillah, saya memutuskan menikah,” paparnya.

Sepulang dari tanah suci, ia merasa menjadi orang baru. Sebab menjadi penyempurna, haji harus selalu memperbaiki syahadatnya, shalatnya, puasanya dan menunaikan ibadah sosial berupa zakat. Lebih jauh, Kang Hawe ingin senantiasa menjadi hamba yang tampil beda. Agar Allah senantiasa memperhatikannya.

Konsep monoteisme yang ia peroleh dari perjalanan haji ia terapkan di kehidupan sehari-hari, dan bersama keluarga, ia ingin selalu konsisten, sambil terus membaca, menulis, menjadi kolumnis, mengajar serta bergiat di sejumlah media massa. Konsistensi itu ingins elalu ia jaga sampai ajal menjemput nanti.

“Kuncinya, saya tidak perlu takut pada siapapun kecuali pada Allah yang Maha Tinggi, itulah yang menjadi semangat untuk selalu percaya diri dan tawakkal,” pungkasnya.

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement